SEBUAH
PESAN UNTUK ORANG TORAJA
DI
AWAL ABAD KE-21
----------------------------------------------------------------
DI
AWAL ABAD KE-21
----------------------------------------------------------------
DI
MASA LAMPAU ORANG TORAJA MAMPU MEMPERTAHANKAN DAN MENYELAMATKAN KEBERADAAN
ETNIS DAN BUDAYA ‘SANG TORAYAN’; BAGAIMANA KE DEPAN?
I.
ABAD XVII-XVIII:
1.
Setelah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (Makassar) dikalahkan Belanda
(V.O.C.) yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone, dan dipaksa menandatangani
Perjanjian Bungaya pada tahun 1667, maka Kerajaan Bone dengan cepat menjadi
paling berpengaruh dan berkuasa di Sulawesi Selatan (lih. Pol, 1940:127 dsl.).
Arung Palakka menjadikan kerajaan-kerajaan sekitar sebagai vassal. Ia
mengalahkan Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu’. Lalu ia mulai
mengarahkan perhatian ke Tondok Lepongan Bulan (lih. Veen, 1940:39). Menurut
salah satu catatan hariannya, tahun 1683 pasukannya telah menduduki beberapa
desa di wilayah Ma’kale-Rantepao (dikutip dlm. Veen, 1940:39).
2.
Dalam invasi ke Tondok Lepongan Bulan ini Arung Palakka disertai Karaeng ri Gowa,
dan didukung oleh pasukan Sidenreng dan Mandar (Lijf, 1947-48:528). Dalam
beberapa manuskrip ditemukan cerita, bagaimana puang baine dari Sangalla’,
Indo’ Garanta’, bersama para tomakaka¬-nya, mendatangi Arung Palakka dan
Karaeng ri Gowa sebagai tanda menyerah. Kepadanya diberi dua pilihan: masuk
Islam dan dengan demikian akan jadi vassal dari Bone, atau tetap berpegang pada
adat dan agama nenek moyangnya dan begitu dijadikan hamba dari Bone dan Gowa.
Dan ia memilih yang terakhir: tetap setia pada adat dan agama leluhur! (dikutip
dlm. Lijf, 1947-48:528).
3.
Perang To Pada Tindo: Pendudukan pasukan Bone lama-kelamaan menimbulkan
perlawanan. Terlebih setelah pasukan pendudukan menculik tiga putri bangsawan
Tallu Lembangna, dan menegaskan bahwa ketiganya baru akan dibebaskan setelah
penduduk bersedia membayar pajak 15 kali lipat. Walau diberitakan ketiganya
akhirnya berhasil dibebaskan seorang to barani dari Madandan, bernama Karasiak,
peristiwa penculikan itu membuat shock di seluruh negeri (lih. Tangdilintin,
1978:136 dsl.). Lahirlah gerakan To Pada Tindo To Misa’ Pangimpi untuk
membebaskan Tondok Lepongan Bulan, yang bersemboyankan “Misa kada dipotuo,
pantan kada dipomate”. Perlawanan To Pada Tindo akhirnya berhasil mengusir
tentara pendudukan. Untuk merayakan kemenangan itu, dilangsungkan bua’ di Bamba
Puang, yang disebut “Bua’ Kasalle Tondok Lepongan Bulan” (Lih. Tangdilintin,
1978:144 dsl.; Veen, 1940:39 dsl.). Peristiwa ini menjadi dasar historis
solidaritas tradisional orang Toraja ketika mereka menemukan diri dalam
kesulitan (lih. Lijf, 1947-48:528-529).
4.
Setiap komunitas adat di Tondok Lepongan Bulan mengambil bagian dalam gerakan
To Pada Tindo, kecuali komunitas adat Karunanga. Itu sebabnya komunitas adat
ini selanjutnya dijuluki “To ribang la’bo’, to simpo mataran” (lih.
Tangdilintin, 1978:144 dsl.).
5.
Tercatat sesudah itu pasukan Bone masih mencoba menginvasi Tondok Lepongan
Bulan pada tahun 1702 dan 1705 (Lijf, 1947-48:528). Tetapi akhirnya pada tahun
1710 dicapai sebuah perjanjian perdamaian. Perjanjian ini dibuat di desa
Malua’, sehingga disebut Basse Malua’ (Tangdilintin, 1978: 161 dan 170 dsl.).
Hampir dua abad kemudian perjanjian ini tetap dihormati, ketika pada tahun
1897, atas permintaan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah
pimpinan Petta Punggawa memasuki Tondok Lepongan Bulan untuk memerangi pasukan
Sidenreng yang dipimpin Ande Guru dalam konflik memperebutkan monopoli
perdagangan kopi antara Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare), yang dikenal
dengan nama “rarinna kopi batu”. Di setiap tondok yang dilalui pasukannya,
Petta Punggawa menekankan tugas melindungi penduduk dalam misi mereka, dan
bahwa kedatangan mereka atas permintaan Luwu; mereka tidak mau merusak hubungan
damai antara Bone dan Tondok Lepongan Bulan yang telah dicapai dua abad
berselang. (Lih. Bigalke, 1981:54-58; Lijf, 1947-48:529-530).
II.
ABAD XX:
1.
Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya
gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun
(1950-1965) di Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama.
Gerakan itu semula bernama KGSS (Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan), yang
bertujuan memperjuangkan tempat yang layak dalam era Indonesia merdeka bagi
para pejuang gerilya Sulsel selama perang kemerdekaan. Tetapi kemudian beralih
menjadi gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Dan dengan itu
dilanjutkanlah gerakan islamisasi dengan paksa. Dengan mengutip tulisan
berjudul “20.000 Pengungsi Tercatat hingga Akhir Oktober 1953 di Luwu” dalam
edisi Rakyat Berjoang, 5 November 1953: p.2, Bigalke menulis: “Akibat-akibat
Islamisasi…dirasakan di dataran tinggi wilayah Luwu dan di pinggiran timur dan
selatan Tana Toraja sejak awal 1952. Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk
agama asli menjadi sasaran serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan,
pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk
Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah baratdaya Toraja sendiri
mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu
mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang akhir
1953, mencapai sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke,
1981:423).
Pada
September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’, yang berisi dasar ideologis
gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam
tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan beragama dijamin tetapi hanya untuk
agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas, ternyata tidak
dilakukan dalam praktek. “Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang
sebelumnya telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan,
dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke, 1981:424). “Untuk mencapai
tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka (para gerilyawan
DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota-anggota biasa.
Tokoh-tokoh Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu
sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah
diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen lainnya masuk Islam saja.
Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekali
pun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid
lainnya dalam Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B.
Tangdililing yang dibunuh di Palopo… Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso’ dan 8
orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.S. Palisungan, L. Sodu dan H.
Djima’ (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat
di Tjappa’ Solo’, berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong,
antara lain pengantar-pengantar Jemaat: J. Ledo, J. Subi’, Ngila, M. Maddulu,
M. Liling dan lain-lain” (Sarira, 1975:45).
2.
Peristiwa Tahun 1953
Di
tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada
bulan April 1953. Tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli
dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan
DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pada Maret 1952 Andi Sose bersama
pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama
“Batalion 720”, dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten.
Batalion ini ditempatkan di Tana Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion
720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman dan mulai resah.
Kenangan akan pendudukan pasukan Arung Palakka di abad ke-17 kembali muncul
dibenak masyarakat. Dengan demikian keresahan masyarakat tidak lagi hanya terbatas
pada soal keamanan. Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan
budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga membuat unsur Toraja dalam
Batalion 720, Kompi 2 di bawah Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose.
Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai
penjelmaan To Pada Tindo dari abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak
ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana mendirikan mesjid raya di
tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke
gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik
yang mencapai puncaknya pada pertempuran 4 April di Makale, di mana kelompok
perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja (lih.
Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, “Sukses perlawanan 4 April itu
menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang
pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis.
Kekalahan utama sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan
(Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale, yang berpihak
pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu melarikan diri dari
Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
3.
Peristiwa Tahun 1958 :
Pada
bulan-bulan pertama 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan
bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan
pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23,
batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama di Tana
Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan
pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja
juga dikirimkan melalui Kepala Daerah kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di
Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di Tana Toraja.
Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap
menghadapinya. Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim perlop satu
kompi di bawah Pappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari
unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan direncanakan
pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman.
Tanggal yang dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional.
Ini antara lain untuk menyatakan kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme
masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953 simbolisme yang
digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut
Barisan Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD
(Organisasi Pertahanan Desa), para pelajar dan penduduk, sebagai persiapan
menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah terjadi kontak
senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala’. Pasukan
R.I. 23 maju mengejar seakan-akan tanpa dapat ditahan, sambil membakar
lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus
bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas organisasi mereka
lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan
BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala’ BKR
menghentikan taktik mundur. Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi
unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit
terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan R.I. 23
yang mengejar dan tiba di Pangala’ dalam keadaan letih tidak meyangka akan
menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat taktik
mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa mereka sangka unit BKR lainnya
memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan kemenangan
besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur,
meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah
itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan
BKR mengadakan tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua
kota itu berhasil diputus, sehingga tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari
Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di
tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La’bo’ - Randan Batu - Sangalla’.
Pasukan BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka
masih berhasil mendapatkan dan menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian
semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih.
Bigalke, 1981:436-446).
Demikianlah
orang Toraja di masa lampau membuktikan mampu mempertahankan independensinya,
tak rela dijajah oleh orang lain, termasuk oleh saudara-saudara sebangsanya
sendiri. Dan dengan demikian mereka berhasil menjaga eksistensi etnis dan
budayanya dalam kerangka NKRI yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”.
4.
Pa’olle-olle Anak Gembala
Sebagaimana
biasanya terjadi di mana pun, dalam sejarah pergulatan orang Toraja
mempertahankan eksistensi etnis dan budayanya, ada saja yang berkhianat dan
bekerjasama dengan musuh. Di tahun 1950-an anak-anak gembala di Toraja dengan
hati perih menyindir mereka itu lewat kata-kata berlanggam khas ini:
III.
ABAD XXI?
Masih
adakah kesadaran orang Toraja dewasa ini atas sejarah mereka? Sukarno
menegaskan: “JAS MERAH!” (JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH!). Dan orang
Perancis berkata: “L’histoire se repete”, (Sejarah terulang); walau kadangkala
dalam wujud berbeda namun isi tetap sama. Sadarkah kita akan salah satu
persoalan pokok bangsa ini yang hingga kini belum juga terselesaikan? Itulah
persoalan KEBEBASAN BERAGAMA yang usianya setua Republik ini! Pasal 29 UUD 1945
menjamin Kebebasan Beragama bagi setiap warga negara. Tetapi apa kenyataannya?
Apa yang dialami oleh kelompok minoritas Ahmadiyah? Dalam dua dekade terakhir
berapa ratus tempat ibadah (baca: gereja) dirusak dan dibakar di negeri ini?
Lalu tindakan apa yang telah diambil pihak berwenang terhadap aksi-aksi
melanggar hukum dan main hakim sendiri seperti itu? Di Negara Hukum kita ini
kelihatannya bahkan pihak berwenang pun takut terhadap bayangan tirani
mayoritas. Kalau penguasa saja takut, apalagi rakyat minoritas! Jangan kita
terlalu cepat melupakan dua peristiwa tragis resen: kerusuhan Ambon dan Poso!
Mampukah kita membaca secara tepat dua peristiwa menyedihkan itu? Keduanya
dimotori kelompok radikal agama yang didatangkan dari luar!
Akhirnya,
relakah orang Toraja abad XXI melenyapkan JATIDIRI ETNIS dan BUDAYA SANG
TORAYAN, yang oleh nenek moyang dan generasi pendahulu telah berhasil
dipertahankan dengan keringat dan darah? Tetapi kalau begitu anak-anak gembala
Toraja tahun 1950-an akan kembali dengan perih hati MA’OLLE-OLLE!
SUMBER
BIGALKE, Terance W.
1981 A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965, (PhD Dissertation, Michigan London).
BIGALKE, Terance W.
1981 A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965, (PhD Dissertation, Michigan London).
LIJF, J.M.van
1947/48 “Kentrekken en problemen van de geschiedenis der Sa’dan-Toradja-landen”, Indonesië, I : 518-535.
1947/48 “Kentrekken en problemen van de geschiedenis der Sa’dan-Toradja-landen”, Indonesië, I : 518-535.
POL, H.
1940 “Geschiedenis van Loewoe”, dlm. Om te gedenken; Vijfentwintig jaar Zendingsarbeid van den G.Z.B. onder de Sa’dan Toradja’s, Zuid-Midden-Celebes, (Delft): 119-140.
1940 “Geschiedenis van Loewoe”, dlm. Om te gedenken; Vijfentwintig jaar Zendingsarbeid van den G.Z.B. onder de Sa’dan Toradja’s, Zuid-Midden-Celebes, (Delft): 119-140.
SARIRA, J.A.
1975 Suatu Survey mengenai Gereja Toraja Rantepao; BENIH YANG TUMBUH VI, (Rantepao-Jakarta): khususnya Bab I.
1975 Suatu Survey mengenai Gereja Toraja Rantepao; BENIH YANG TUMBUH VI, (Rantepao-Jakarta): khususnya Bab I.
No comments:
Post a Comment