Friday, February 27, 2015

Konsep Tentang Ilahi, Alama Semesta & Manusia dalam Aluk Todolo

KONSEP TENTANG ILAHI, ALAM SEMESTA DAN MANUSIA DALAM ALUK TODOLO

Menurut litani yang diucapkan pada upacara-upacara penyembahan kepada dewa terutama pada upacara-upacara besar. Pada mulanya alam semesta ini belum berbentuk, masih pejal dan gelap gulita. Belum ada Langit, matahari, bulan dan bintang. Belum ada daratan, gunung, lembah, sungai dan sawah, belum ada manusia, binatang dan tumbuhan, belum ada laut dan ikan. Langit langit dan bumi masih bertelangkup belum berpisah. Dari perkawinan langit dan bumi itu, lahirlah dewa tiga serangkai (Puang Titanan Tallu Samba’ Batu Lalikan artinya dewa yang bersama-sama membentuk segitiga seperti ketiga tungku). Tiga serangkai itu ialah Gauntikembong yang bersemayam di Langit, Pong Banggairante yang bersemayam di bumi, Pong Tulakpadang yang memilih tempat dibawah Bumi. Pada litani lain dikatakan bahwa pada mulanya ketika langit dan bumi masih bertelangkup Puang Matua menekan bumi ke bawah dan menolak langit ke atas sehingga terhamparlah bumi luas dan melengkunglah langit besar. Jadi para dewa berada di dalam kosmos dan lahir dari para kosmos, anak langit dan bumu (Anakna Langi’ na Anakna Lino).

Setelah dunia terbentuk maka para dewa mendiami tiga aspek alam semesta. Kelompo Gaun Tikembong mendiami Langit, Pong Banggairante mendiami bumi dan Pong Tulakpadang mendiami bawah bumi. Pada langit tertinggi berdiamlah Puang Matua. Sebagai dewa yang tertinggi, yang membentuk langit dan bumi, dan menjadikan segala isinya Puang Matua adalah dewa yang maha kuasa, maha kasih, yang memeliharakan dunia dengan segala isinya. Kita dapat membedakan dewa dengan alam semesta tetapi tidak dapat memisahkan secara nyata dan jelas. Dewa berada di dalam kosmos, lahir dari kosmos dan kembali berada di dalam kosmos. Kosmos melahirkan dewa tetapi kosmos itu sendiri dijadikan oleh Puang Matua. Dewa dan kosmos terjalin secara sintetis. Karena itu kehadiran ilahi dapat dialami dimana-mana, misalnya dalam hutan, dalam sungai, dalam makanan dalam rumah dan setrusnya. Dewa berada di hutan (Deata Pangala’ Tamman). Berada di gunung (Deata Sopai) berada di sungai (deata Salu Sa’dan). Pada besi (Deatanna Bassi). Pada makanan (Deatanna Bo’bo), di Sumur (Deata Bubun) dan seterusnya. Kutipan litani dibawah ini melukiskan bagaimana awalnya dewa itu ada.

Apa ia tonna tiparandukna Tonna ka’nan tipaotonna Bendanpa ia lilli’na pirri’ Naluangpa ia pa’tang gana-gana Tang tibungka’pa ia ba’ba masiang Tang dikillangpa pentutuan lipu’ Tang sombopa barrean allo Tang payanpa sampena bulan Tang tiborri’pa tutunna lalan Tang Tie’te’pa mata kalambunan Tang didandanpa buntu madao Tang dibato’pa tanete ma’dandan Tang payanpa rante kalua’ Tang tiborri’na pangkalo’ puang Pa’depa lolokna riu Pa’depa bulunna padang Pa’depa kakayuan Tangkombongpa kapanggalaran Pa’depa lepongan tondok Tang tiborri’pa semberan matakali Pa’depa torro tolino sola sanda rangka’na Pa’depa kurrean manuk, pakandean bai Apa dadiri ia Puang Matua lan silopakna langi’ na lino Apa kombongri ia Tokaubanan lan Siamma’na batara tua anna lipu’na daenan Anna sukku’ tampa rapa’na Tokaubanan Natemme’i tu tana na gundanggi tu langi’ Tibungka’mi langi’ kalua’ Tiampanmi rante masangka’ Setelah membentuk langit dan bumi, Puang Matua membentuk Nenek Moyang Asal (NMA) dari alam semesta. 

Ditempahnya Nenek Moyang Asal (NMA) matahari, bulan, hujan, manusia, binatang, tumbuhan, besi, batu, sirih, ipuh, enau. Pada mulanya NMA-NMA dari seluruh isi kosmos yang dibuat di langit itu tinggal di langit bersama Puang Matua. Mereka bergaul akrab di sana dibawah tuntunan aluk dan pemali. Puang Matua menetapkan bagi mereka tatatertib (aluk) untuk menjamin kelestarian alam semesta, mengajarkan mereka melakukan ritus-ritus persembahan kepada dewa-dewa dan leluhur. Sebagai mahkluk-mahkluk penghuni langit maka merekapun pada hakekatnya ilahi pula. Dalam percakapan dengan Puang Matua mereka memilih tempatnya dan fungsinya masing-masing.

Silsilah Puang Sandajao menurut susunan Parengnge


Silsilah Puang Sandajao menurut susunan Parengnge
Ampinni di salah 1 Tongkonan Sembang Kada di Raja


--> Puang Pataba/P.ne' Bu'bu -x- P.Rappan
lahirkan:
1. Puang Belo Padang
2. P. Belo Bintang
3. P. Sandajao
4. P. Mangnga
5. P. Sari Padang

--> P. Belo Padang -x- P. Tumba' Bu'bu
 Melahirkan:
1. Puang Bu'bu
2. Saindo' Lai

--> Puang Bu'bu -x- P. Tumba' Liku Allo
 Lahirkan:
1. Puang Sanda Lele
2. Noni
3. Pawarrung
4. Saindo Lai Saweccun

--> P. Sanda Lele -x- 4. P. Palakean
Lahir:
1. P. Tumba' Kadang
2. Embong Bulaan
3. Belowaanna
4.,,,

--> P. Tumba' Kkadang -x- Opu Pokko
 Lahirkan:
1. P. Palonyo
2. P. Sandajao istri Danduru 1
3. Niki
4. Pakulu
5. Semba'
6. Sikkong
7. Daunna,,,

klo ada yg salah mohon di maafkan karma ada diantara mereka mengunakan sampai 3 atau 2 nama,,,dan menurut yg sy dengar puang danduru 1 menikahi Sandajao msh kerabat dekat klo bukan sepupu pa'nakannya,,,,
trus Opu pokko ini yg dari luwu,,,sementara istrinya Tumbak Kadang dari Kairo Sangalla,,,



by.Hadi Sanda Jao

Thursday, February 26, 2015

SEBUAH PESAN UNTUK ORANG TORAJA DI AWAL ABAD KE-21

SEBUAH PESAN UNTUK ORANG TORAJA
DI
AWAL ABAD KE-21
----------------------------------------------------------------
DI MASA LAMPAU ORANG TORAJA MAMPU MEMPERTAHANKAN DAN MENYELAMATKAN KEBERADAAN ETNIS DAN BUDAYA ‘SANG TORAYAN’; BAGAIMANA KE DEPAN?

I. ABAD XVII-XVIII:
1. Setelah Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa (Makassar) dikalahkan Belanda (V.O.C.) yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone, dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada tahun 1667, maka Kerajaan Bone dengan cepat menjadi paling berpengaruh dan berkuasa di Sulawesi Selatan (lih. Pol, 1940:127 dsl.). Arung Palakka menjadikan kerajaan-kerajaan sekitar sebagai vassal. Ia mengalahkan Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu’. Lalu ia mulai mengarahkan perhatian ke Tondok Lepongan Bulan (lih. Veen, 1940:39). Menurut salah satu catatan hariannya, tahun 1683 pasukannya telah menduduki beberapa desa di wilayah Ma’kale-Rantepao (dikutip dlm. Veen, 1940:39).
2. Dalam invasi ke Tondok Lepongan Bulan ini Arung Palakka disertai Karaeng ri Gowa, dan didukung oleh pasukan Sidenreng dan Mandar (Lijf, 1947-48:528). Dalam beberapa manuskrip ditemukan cerita, bagaimana puang baine dari Sangalla’, Indo’ Garanta’, bersama para tomakaka¬-nya, mendatangi Arung Palakka dan Karaeng ri Gowa sebagai tanda menyerah. Kepadanya diberi dua pilihan: masuk Islam dan dengan demikian akan jadi vassal dari Bone, atau tetap berpegang pada adat dan agama nenek moyangnya dan begitu dijadikan hamba dari Bone dan Gowa. Dan ia memilih yang terakhir: tetap setia pada adat dan agama leluhur! (dikutip dlm. Lijf, 1947-48:528).
3. Perang To Pada Tindo: Pendudukan pasukan Bone lama-kelamaan menimbulkan perlawanan. Terlebih setelah pasukan pendudukan menculik tiga putri bangsawan Tallu Lembangna, dan menegaskan bahwa ketiganya baru akan dibebaskan setelah penduduk bersedia membayar pajak 15 kali lipat. Walau diberitakan ketiganya akhirnya berhasil dibebaskan seorang to barani dari Madandan, bernama Karasiak, peristiwa penculikan itu membuat shock di seluruh negeri (lih. Tangdilintin, 1978:136 dsl.). Lahirlah gerakan To Pada Tindo To Misa’ Pangimpi untuk membebaskan Tondok Lepongan Bulan, yang bersemboyankan “Misa kada dipotuo, pantan kada dipomate”. Perlawanan To Pada Tindo akhirnya berhasil mengusir tentara pendudukan. Untuk merayakan kemenangan itu, dilangsungkan bua’ di Bamba Puang, yang disebut “Bua’ Kasalle Tondok Lepongan Bulan” (Lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.; Veen, 1940:39 dsl.). Peristiwa ini menjadi dasar historis solidaritas tradisional orang Toraja ketika mereka menemukan diri dalam kesulitan (lih. Lijf, 1947-48:528-529).
4. Setiap komunitas adat di Tondok Lepongan Bulan mengambil bagian dalam gerakan To Pada Tindo, kecuali komunitas adat Karunanga. Itu sebabnya komunitas adat ini selanjutnya dijuluki “To ribang la’bo’, to simpo mataran” (lih. Tangdilintin, 1978:144 dsl.).
5. Tercatat sesudah itu pasukan Bone masih mencoba menginvasi Tondok Lepongan Bulan pada tahun 1702 dan 1705 (Lijf, 1947-48:528). Tetapi akhirnya pada tahun 1710 dicapai sebuah perjanjian perdamaian. Perjanjian ini dibuat di desa Malua’, sehingga disebut Basse Malua’ (Tangdilintin, 1978: 161 dan 170 dsl.). Hampir dua abad kemudian perjanjian ini tetap dihormati, ketika pada tahun 1897, atas permintaan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki Tondok Lepongan Bulan untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Ande Guru dalam konflik memperebutkan monopoli perdagangan kopi antara Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare), yang dikenal dengan nama “rarinna kopi batu”. Di setiap tondok yang dilalui pasukannya, Petta Punggawa menekankan tugas melindungi penduduk dalam misi mereka, dan bahwa kedatangan mereka atas permintaan Luwu; mereka tidak mau merusak hubungan damai antara Bone dan Tondok Lepongan Bulan yang telah dicapai dua abad berselang. (Lih. Bigalke, 1981:54-58; Lijf, 1947-48:529-530).
II. ABAD XX:
1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama. Gerakan itu semula bernama KGSS (Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan), yang bertujuan memperjuangkan tempat yang layak dalam era Indonesia merdeka bagi para pejuang gerilya Sulsel selama perang kemerdekaan. Tetapi kemudian beralih menjadi gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Dan dengan itu dilanjutkanlah gerakan islamisasi dengan paksa. Dengan mengutip tulisan berjudul “20.000 Pengungsi Tercatat hingga Akhir Oktober 1953 di Luwu” dalam edisi Rakyat Berjoang, 5 November 1953: p.2, Bigalke menulis: “Akibat-akibat Islamisasi…dirasakan di dataran tinggi wilayah Luwu dan di pinggiran timur dan selatan Tana Toraja sejak awal 1952. Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama asli menjadi sasaran serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah baratdaya Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952, dan mencapai puncaknya menjelang akhir 1953, mencapai sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke, 1981:423).
Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’, yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas, ternyata tidak dilakukan dalam praktek. “Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang sebelumnya telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke, 1981:424). “Untuk mencapai tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka (para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota-anggota biasa. Tokoh-tokoh Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen lainnya masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekali pun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo… Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso’ dan 8 orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.S. Palisungan, L. Sodu dan H. Djima’ (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat di Tjappa’ Solo’, berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong, antara lain pengantar-pengantar Jemaat: J. Ledo, J. Subi’, Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain” (Sarira, 1975:45).
2. Peristiwa Tahun 1953
Di tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada bulan April 1953. Tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, pada Maret 1952 Andi Sose bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama “Batalion 720”, dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini ditempatkan di Tana Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman dan mulai resah. Kenangan akan pendudukan pasukan Arung Palakka di abad ke-17 kembali muncul dibenak masyarakat. Dengan demikian keresahan masyarakat tidak lagi hanya terbatas pada soal keamanan. Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga membuat unsur Toraja dalam Batalion 720, Kompi 2 di bawah Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose. Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai penjelmaan To Pada Tindo dari abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya pada pertempuran 4 April di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, “Sukses perlawanan 4 April itu menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758.
3. Peristiwa Tahun 1958 :
Pada bulan-bulan pertama 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama di Tana Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga dikirimkan melalui Kepala Daerah kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di Tana Toraja. Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya. Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim perlop satu kompi di bawah Pappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan direncanakan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. Tanggal yang dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953 simbolisme yang digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala’. Pasukan R.I. 23 maju mengejar seakan-akan tanpa dapat ditahan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala’ BKR menghentikan taktik mundur. Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit terpisah: polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan R.I. 23 yang mengejar dan tiba di Pangala’ dalam keadaan letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan membuat taktik mundur, dan pasukan R.I. 23 mengejar. Tanpa mereka sangka unit BKR lainnya memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur, meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.
Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale. Dan pasukan BKR mengadakan tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La’bo’ - Randan Batu - Sangalla’. Pasukan BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
Demikianlah orang Toraja di masa lampau membuktikan mampu mempertahankan independensinya, tak rela dijajah oleh orang lain, termasuk oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Dan dengan demikian mereka berhasil menjaga eksistensi etnis dan budayanya dalam kerangka NKRI yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”.
4. Pa’olle-olle Anak Gembala
Sebagaimana biasanya terjadi di mana pun, dalam sejarah pergulatan orang Toraja mempertahankan eksistensi etnis dan budayanya, ada saja yang berkhianat dan bekerjasama dengan musuh. Di tahun 1950-an anak-anak gembala di Toraja dengan hati perih menyindir mereka itu lewat kata-kata berlanggam khas ini:
III. ABAD XXI?
Masih adakah kesadaran orang Toraja dewasa ini atas sejarah mereka? Sukarno menegaskan: “JAS MERAH!” (JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH!). Dan orang Perancis berkata: “L’histoire se repete”, (Sejarah terulang); walau kadangkala dalam wujud berbeda namun isi tetap sama. Sadarkah kita akan salah satu persoalan pokok bangsa ini yang hingga kini belum juga terselesaikan? Itulah persoalan KEBEBASAN BERAGAMA yang usianya setua Republik ini! Pasal 29 UUD 1945 menjamin Kebebasan Beragama bagi setiap warga negara. Tetapi apa kenyataannya? Apa yang dialami oleh kelompok minoritas Ahmadiyah? Dalam dua dekade terakhir berapa ratus tempat ibadah (baca: gereja) dirusak dan dibakar di negeri ini? Lalu tindakan apa yang telah diambil pihak berwenang terhadap aksi-aksi melanggar hukum dan main hakim sendiri seperti itu? Di Negara Hukum kita ini kelihatannya bahkan pihak berwenang pun takut terhadap bayangan tirani mayoritas. Kalau penguasa saja takut, apalagi rakyat minoritas! Jangan kita terlalu cepat melupakan dua peristiwa tragis resen: kerusuhan Ambon dan Poso! Mampukah kita membaca secara tepat dua peristiwa menyedihkan itu? Keduanya dimotori kelompok radikal agama yang didatangkan dari luar!
Akhirnya, relakah orang Toraja abad XXI melenyapkan JATIDIRI ETNIS dan BUDAYA SANG TORAYAN, yang oleh nenek moyang dan generasi pendahulu telah berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah? Tetapi kalau begitu anak-anak gembala Toraja tahun 1950-an akan kembali dengan perih hati MA’OLLE-OLLE!
SUMBER
BIGALKE, Terance W.
1981 A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965, (PhD Dissertation, Michigan London).
LIJF, J.M.van
1947/48 “Kentrekken en problemen van de geschiedenis der Sa’dan-Toradja-landen”, Indonesië, I : 518-535.
POL, H.
1940 “Geschiedenis van Loewoe”, dlm. Om te gedenken; Vijfentwintig jaar Zendingsarbeid van den G.Z.B. onder de Sa’dan Toradja’s, Zuid-Midden-Celebes, (Delft): 119-140.
SARIRA, J.A.
1975 Suatu Survey mengenai Gereja Toraja Rantepao; BENIH YANG TUMBUH VI, (Rantepao-Jakarta): khususnya Bab I.

RAJA-RAJA TRADISIONAL TANATORAJA

RAJA-RAJA TRADISIONAL TANATORAJA

Silsilah dimulai dari Puang Tamboro Langi’Tomanurung Pertama yang menurut Hikayat turun dari lagit di puncak Gunung Kandora (Kecamatan Mengkendek)pada pertengahan abad 4
Puang Tamboro Langi’ inilahyang merupakan raja petama di Kalindobulanan Lepongan Bulan dan sekaligus merupakan leluhur raja-raja di Kerajaan Lepongan Bulan(Tana Toraja)pada khususnya dan Kerajaan Tallu Bocco yang pertama (Toraja,Luwu dan Gowa) pada umumnya
1. Puang Tamboro Langi. Bergelar Puang Tomatasak yang pertama di Kalindobulanan Lepongan Bulan,Kawin dengan Puang Sanda Bilik dari Sungai Sa’dan di Saepa Deata,melahirkan 4 orang Putera
A. Puang Papai Langi’ di Gasing
B. Puang Tumambuli Buntu di Napo
C. Puang Sanda Boro di Batu Borrong(Kaki Gunung Sinaji)
D. Puang Messok di Rano Makale
2. A. Puang Papai Langi’ menggantikan ayahnya sebagai Puang Tomatasak II,kawin dengan 2 orang Putri,masing-masing bernama:
A.1. Puang Allo anginan,berasal dari air kolam di Gasing,melahirkan 4 orang anak
a. Puang Paetong di Otin Mengkendek
b. Puang Toding di Banua lando Makale
c. Puang Landek di Su’pi Sangalla’
d. Puang Panggeso di Tiromanda Makale
A.2. Tumba’ Sarambunna dari keturunan tomakaka di Banua Puan,melahirkan 8 anak :
a. Sarambunna di Tinoring Mengkendek
b.Tomemanuk di Bala Mengkendek
c. La’la di Batu Rondon Mengkendek
d. Samang di Tengan Mengkendek
e Yarra’ Matua di Palipu’Mengkendek
f. Tintiri Buntu di Sillanan Mengkendek
g. Bangke’ Barani di Botang Makale
h. Bombiri Lemo di Pa’buaran Makale
B. Puang Tumambuli Buntu diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan di Ulunna Lepongan Bulan,kawin dengan 2 orang Putri,masing-masing bernama:
B.1. Puang Bo’ngga ri Napo,berasal dari batu di Napo,melahirkan 4 orang anak
a. Puang Saredadi di Karua
b. Puang Emabtu di Sesean
c. Puang Ampang di Sa’dan
d. Puang Lambe’susu di Napo
B.2. Puang Manaek di Nonongan ,melahirkan 9 anak :
a. Puang Palaga di tarongko Makale
b. Puang Marimbun di Bungin Makale
c. Puang Rambu Langi’ di Pangi Makale
d. Puang Tokondok di Buakayu
e Puang Tinti di Lambun Tapparan,Salluputti
f. Puang Paladan di Siguntu’Nonongan
g. Puang Pata’ba’di Parakan
h. Puang Petimba Bulaan di Kaero
C. Puang Sanda Boro diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan di Ingkokna Lepongan Bulan,kawin dengan seorang Putri, bernama:
C.1. Puang Bu’tui Pattung,berasal dari Batu Borrong,melahirkan 4 orang anak
a. Puang Palandongan di di Marintang
b. Puang Rombe Londong di Tabang
c. Puang Mate Malolo (meninggal saat masih gadis)
d. Puang Lakipadada


Mengembara mencari ilmu untuk hidup abadi sampai akhirnya menikah dengan Putri Gowa yang melahirkan:
Puang Patta La Bantan (Toraja)
Puang Patta La Bunga (Luwu)
Puang Patta LaMerang (Gowa)
D. Puang Messok diangkat sebagai Puang Tomatasak Muda di Kalindobulanan Tanganna Lepongan Bulan,kawin dengan seorang Putri, bernama:
D.1. Puang Timban,di rano Makale,melahirkan seorang anak
a. Puang Payak Allo bergelar Datu Matampu’,menggantikan Pamannya Puang Papai Langi’, sebagai Puang Tomatasak III di Kalindo Bulanan Lepongan Bulan di Rano
3. Puang Payak Allo sebagai Puang Tomatasak III kawin dengan Puang Tumba’ Paramak dari Makale dan melahirkan seorang Putra bernama Puang Laso’ Paramak
Pada masa ini terjadilah Perang Saudara Pertama di Kalindo bulanan Lepongan Bulan,antara Puang Paramak Datu’ Matampu dengan Puang Rambu Langi’ dari Pangi
4. PuangPatta La Bantan anak dari Puang Lakipadada kembali dari Gowa akhirnya dilantik sebagai Puang Tomatasak IV di Kalindo bulanan Lepongan Bulan di Kaero,untuk menenangkan saudara-saudaranya yang berperang di kampung
Puang Patta La Bantan inilah yang membangun Kaero sebagai Tongkonan Layuk di Kalindobulanan Lepongan Bulan.
Menikah dengan Petimba Bulaan dari Nonongan dan melahirkan putera bernama Puang Timban Boro (Puang Tomtasak V)
BASSE TALLU LEMBANGNA












5. Puang Timban Boro
Menggantikan ayahnya Puang Patta La Bantan sebagai Puang tomatasak V di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Pasuen dari Tondon Makale yang melahirkan Putra bernama Puang Kapu’Boro
6. Puang Kapu’ Boro
Menggantikan ayahnya Puang Puang Timban Boro sebagai Puang tomatasak VI di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Dipa’pitu dari Kombong Bura yang melahirkan Putra bernama Puang Tangmarakia
7. Puang Tangmarakia
Menggantikan ayahnya Puang Kapu’ Boro sebagai Puang tomatasak VII di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’paseno Langi dari Buntu Kaero yang melahirkan Putra bernama Puang Paseno langi’
8. Puang Paseno langi’
Menggantikan ayahnya Puang Tangmarakia sebagai Puang tomatasak VIII di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Tangkokean dari Otin Mangkendek yang melahirkan Putra bernama Puang Tanggulungan
9. Puang Tanggulungan
Menggantikan ayahnya Paseno langi’ sebagai Puang tomatasak IX di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Riu’Datu dari Batualu yang melahirkan Putra bernama Puang Sampa Raya
10. Puang Sampa Raya
Menggantikan ayahnya Puang Tanggulungan sebagai Puang tomatasak X di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Bubun Datu dari Tondon,Makale yang melahirkan Putra bernama Puang Galugu
11. Puang Galugu
Menggantikan ayahnya Puang Sampa Raya sebagai Puang tomatasak XI di Kalindo bulanan Kaero,kawin   dengan seorang putri bernama Puang Tumba’Lanjang dari Tondon,Makale yang melahirkan 2 orang Putra yaitu:
       11.1. Puang Lanjang Dolo
                kawin dengan Puang Tumba’Kaise’ dari Butualu melahirkan 5 orang anak
11.1.a Puang Bullu Matua
11.1.b Puang Pasolang Boro
11.1.c Puang Tandi
11.1.d Puang Bala Lelen
11.1.e Puang Pagunturan
       11.2. Puang Pabuaran Dolo
                kawin dengan Puang Tumba’Kaise’ dari Butualu melahirkan 5 orang anak
11.2.a Puang Raya Sampin
11.2.b Puang Tampang
11.2.c Puang Tangmarak
12. Puang Pabuaran Dolo
Menggantikan ayahnya Puang Galugu sebagai Puang tomatasak XII di Kalindo bulanan Kaero,disini tidak ada catatan mengapa Pengganti Puang Galugu adalah Puang Pabuaran Dolo bukan Anak tertuanya Puang Lanjang Dolo.
13. Puang Raya Sampin
Menggantikan ayahnya Puang Pabuaran Dolo sebagai Puang tomatasak XIII di Kalindo bulanan Kaero
Catatan: Pada zaman ini terjadi Perang saudara ke II, antara Puang Raya Sampin dengan Puang Bullu Matua(anak dari Puang Lanjang Dolo)
14. Puang Bullu Matua

Dalam perang saudara kedua di Kalindobulanan tsb dimenangkan oleh Puang Bullu Matua dan diangkat menjadi Puang Tomatasak XIV di Kalindobulanan Lepongan Bulan,Kawin dengan Puang Bitti’Langi’ dari Tarongko Makale yang melahirkan tiga orang anak,Yaitu
14.1. Puang Bitti’Langi
Kawin dengan Puang Tumba’Pakolean dari Pangi dan melahirkan
14.1.a Puang Tiang Langi’
14.2. Puang Kanna
Kawin dengan Puang Puling dari Otin Mangkendek dan melahirkan
14.2.a Puang Palodan
14.2.b Puang Kombo Langi’
14.3. Puang Makaun Allo (gugur dalam perang saudara)
BASSE TALLU LEMBANGNA
Setelah ketiga cucu Puang Bullu Matua sudah dewasa,beliau membagi Kerajaan Lepongan Bulan menjadi tiga Kerajaan diatas suatu landasan sumpah yang disebutBasse Tallu Lembangna yaitu Makale.Sangalla’ dan Mengkendek
Walaupun ketiga kerajaan ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing yang disebut Puang Basse Kakanna Makale,Puang basse Tanganna Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek,namun demikian secara simbolis masih ada Puang Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang menurut sejarah selalu dijabat oleh Puang Basse Tanganna Sangalla’ selama 13 periode mulai dariPuang Palodang sampai Puang Laso’Rinding (Puang Sangalla’),salah satu alasannya karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan Pusat (Keraton/Istana) Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan berada di wilayah Sangalla’
Basse Kakanna Makale












1. Puang Tiang Langi’  sebagai Puang Basse Kakanna Makale I
dengan gelaran Sullena Puang Bullu Matua lan padang ri Makale,solonna Puang Tiang Langi’ te Lipu Basse Kakanna, kawin dengan Puang Kobong Bulaan dari Mangasi Mengkendek,melahirkan seorang putera bernama Puang Todierong
2. Puang Todierong  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale II
Menggantikan ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale II, kawin dengan Puang Tumba’ Palonga di Tondon Makale,melahirkan seorang putra bernama Puang Palonga’
Catatan:
Pada masa ini dibangun persekutuan antara tiga daerah Kapuangan yakni Puang Todierong dari Makale,Puang Tolayuk dari Baroko dan Puang Tokalu’ dari Enrekang. Basse Persekutuan ini dikenal dalam sejarah dengan ucapan:
Basse sang bembe’manik sangluse’giring-giring”
Basse  persekutuan persaudaraan antara ketiga daerah Kapuangan ini bertujuan memelihara persatuan dan kesatuan dalam wujud kekeluargaan yang akan nampak terutama dalam Upacara Rambu Solo’
Basse ini diucapkan dalam sasta Toraja tinggi sebagai berikut:
Bandanmi pole’ basse titanan tallu
Tulangda’mi pandan dipopemamba galugu
Tirindu batu lalikan,kumua………
Ianna masaki ulunna Makale
Untintimi gandang bulaana tu Tolayuk lan di Baroko,
Napasa’ding tu Endekan
Susi duka kemasaki ulunna Endekan
Undedekmi gandang bulaanna to Tolayuk lan di Baroko,
Napasa’ding tu Makale
Realisasi dari Basse Persaudaraan ini tampak dalam sejarah ialah ketika Upacara Pemakaman Puang Tarongko di Makale, maka raja-raja dari Pitu Masserenrempulu ( Enrekang, Maluw’, Buntubatu, Kassa’,Alia’ ,Batulappa’ dan Maiwa) datang berbelasungkawa ke Makale, Demikian pula waktu meninggalnya Puang Enrekang ( Pancai Tana Bunga Walie) semua Puang-Puang dari Tallu Lembangna Makale,Sangalla’ dan Mengkendek turun berbelasungkawa ke Enrekang.
3. Puang Polanga  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale III
kawin dengan seorang Putri Salle Bayu dari  Tarongko Makale,melahirkan seorang putra bernama Puang Pate’dangan
4. Puang Pate’dangan  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale IV
kawin dengan seorang Putri Puang Balun Manik dari Awa’ Tarongko Makale,melahirkan seorang putra bernama Puang Sugi
5. Puang Sugi’  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale V
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’Payuk di Makale,melahirkan 2 orang putra yaitu
    5.1 Puang Sui’ Lalong
    5.2 Puang Payuk diangkat sebagai Tunduk Tata’ na Basse Kakanna lembang di Makale ketika pecah perang antara To Pada Tindo di Lepongan Bulan melawan orang-orang Bone sebagai tentara Pakila’Allo yang mengadakan penindasan terhadap orang-orang Kalindo Bulananna lepongan Bulan.
Kawin dengan seorang  putri bernama Tumba’ Parukka di Bulo Makale melahirkan dua orang Putera yaitu:
          5.2.a Puang Parukka
          5.2.b Puang Lolon
6. Puang Sui’ Lalong  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VI
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Parapak dari Kaero,Sangalla’,melahirkan seorang putra bernama Puang Parapa’
7. Puang Parapa’  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VII
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Lolo angin di Tarongko Makale,melahirkan seorang putra bernama Puang Lolo angin
8. Puang Lolo Angin  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale VIII
kawin dengan seorang Putri Puang Balun Manik dari Awa’ Tarongko Makale,melahirkan 2 orang anak bernama
    8.1 Puang Payung Allo
    8.2 Puang Tumba’ Payung Allo kawin dengan seorang Puang dari Bebo’ Sangalla’ bernama Puang Makongkan melahirkan seoran puteri bernama Tumba’ Makongkan
9. Puang Payung Allo  mengganti ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale IX
kawin dengan seorang Putri Puang Tumba’ Limbu langi’ dari Kaero Sangalla’ tapi tidak mempunyai keturunan
10. Puang Tumba’ Makongkan mengganti Pamannya menjadi Puang Basse Kakanna Makale X
kawin dengan seorang Putra bernama Puang Laso’ Ses alias Puang Mammulu dari Tangti Mengkendek,melahirkan seorang putra bernama Puang Tarongko
11. Puang Tarongko mengganti ibunya menjadi Puang Basse Kakanna Makale XI









kawin dengan 7 orang Putri ,masing-masing bernama:
11.1. Puang Lai’ Tangnga’Layuk dari Makale melahirkan
11.1.a Puang Indo’ Rante Allo
11.1.b Puang Laso’Tampo (Puang Pantan)
11.1.c Puang A.Rante Allo (Puang Tondon)
11.2. Puang Tumba’ Manuk Allo dari Manggau melahirkan seorang Putera bernama Puang Manuk Allo dikirim oleh ayahnya ke Sidenreng (Bugis) dan mendapat gelar Andi Lolo,








Catatan:
Besama ManukaAlloyang dikirim Puang Tarongko,Puang Limbu Langi’ (Puang Basse Tanganna Sangalla XI/Puang Tomatasak XXV) juga mengirim puteranya Laso’Rinding (Puang Sangalla), mereka pulang dengan menguasai Bahasa,budaya dan menulis lontar,Taktik dan seni strategi perang Bugis
      11.3. Puang Tumba’Toding Allo melahirkan putera bernama Puang Toding Allo(Puang Rante Allo)
11.4. Puang Tumba’Sumbung melahirkan 2 orang masing-masing bernama
11.4.a. Puang Sumbung(Puang Massora)
11.4.b. Puang Lai’ Tambing
11.5. Puang Tumba’Sa’dan melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Sa’dan
11.6. Puang Tumba’Baratu melahirkan puteri bernama Puang Lai’ Baratu
11.7. Puang Tumba’Pidun melahirkan putera bernama Puang Sumbung(Pidun)
Catatan:
Dan pada saat itu muncul invasi Bugis ke Tana Toraja. Terjadilah perang antara Uwa Situru’ alias Andi’ Guru melawan bangsawan Toraja. Orang -orang yang lemah menjadi korban karena ditawan oleh Bugis. Peristiwa ini dalam sejarah disebut :
Tonna Kumande ulang bulu bangla’
Tenna mangintok karidi’ dipabaru
12. Puang Rante Allo alias Puang Tondon menggantikan ayahnya sebagai Puang Basse Kakanna Makale XII
di Lembang Makale dengan gelar Kepala Distrik Makale (1923-1943)
Catatan:
Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self bestur Luwu Puang A.Rante Allo kawin dengan dua orang putri masing-masing bernama:
12.1. Puang Lai’Sirande dari Mengkendek,melahirkan 5 orang anak yaitu:
12.1.a. P.Lai’Rante Allo
12.1.b. P.Tandi Lesse Rante Allo
12.1.c. P.Lai’Bassang
12.1.d. P.Rante Allo (Rante)
12.1.e. P.Bunga Bau’
12.2. Lai’Jaga dari Penanda Rante Bua,melahirkan Danduru Cs
Puang Manuk Allo (Andi Lolo) kawin dengan 7 orang putri masing-masing bernama:
1. Tumba Datu dari Tiromanda,melahirkan 2 orang putera yaitu:
a. Puang Johanis Lambe Andilolo
b. Puang Benyamin Ruruk Andi Lolo


2. Puang Sinnong La’bi dari Bungin Makale,melahirkan 5 orang anak
a. Puang Mendedek
b  Puang Lai’Andi kawin dengan Puang Laso’Torantu
c. Puang Lai’Surao
d. Puang A.Duma’ Andi Lolo
e. Puang Lai’Songkeng kawin dengan BT.Sakkung
3. Indo’na Paga’,melahirkan 2 orang anak yaitu:
a. Haji Paga’ Andilolo
b. J.Ba’ka’ Andi Lolo
4. Indo’na Songkeng dari Dun,melahirkan Songkeng yang tamanang
5. Lai’Simmin dari Sopai,melahirkan :
a. Marunu
b. Kenda
c. Sulle
6. Indo’na So’Rante dari Sillanan,melahirkan So’Rante,mate malolle’ di rimba kayu hitam Palu Sulawesi    Tengah
7. Indo’na Lai’Koli’,melahirkan 2 orang puteri yaitu:
a. Haji Koli’
b. Lai Sanning
13. Puang Adrial Duma’ Andilolo Putra dari Puang Andilolo menggantikan PamannyaPuang A.Rante Allo sebagai Puang Basse Kakanna XIII di Lembang Makale dengan gelar Kepala Distrik Makale  (1943 – 1949). Puang A.D Andilolo kawin dengan D.Mapaliey
Catatan:
Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 ( Stbld Nomor 105 ) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari Swapraja yang berdiri sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut TONGKONAN ADA’.Catatan ttg Puang A.D Andilolo:
1. Sebagai Puang Makale 1943-1949
2. Sebagai Ketua Dewan Tongkonan Ada’KerajaanTana Toraja 1949 s.d 1950 Susunan Dewan Eksekutif Kerajaan Sendiri Tana Toraja :
Ketua     : Puang A.D.Andilolo dari Makale
Anggota : Puang Laso’Rinding dari Sangalla’
Anggota : Puang Laso’Torantu dari Mengkendek’
Anggota : Ma’dika Bombing dari Buakayu
Anggota : Ma’dika Tandirerung dari Ulusalu
Anggota : Siambe’ H.Saba’ dari Madandan
Anggota : Siambe’ Tandirerung dari Kesu’
Anggota : Siambe’ Salurapa’ dari Nanggala’
Anggota : Siambe’ Kombong Langi’ dari Tikala
Anggota : Siambe’ Sarungu’ dari Pangala’3. Anggota Parlemen RIS 1950 s.d 1959
4. Menjadi Gubernur muda pada Kementrian Dalam Negri RI sampai pensiun tahun 1988Pada saat Pemerintahan berbentuk serikat (RIS ) tahun 1946 TONGKONAN ADA’ diganti dengan suatu pemerintahan darurat yang beranggotakan 7 orang dibantu oleh satu badan yaitu KOMITE NASIONAL INDONESIA ( KNI ) yang beranggotakan 15 orang.
Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, Pemerintah Darurat diadakan dan pada tanggal 21 Pebruari
14. Puang Tandi Lesse Rante Allo mengganti sepupunya Puang AD Andilolo sebagaiPuang Basse Kakanna XIVdi Lembang Makale (1950-1960)












Catatan:
Tahun 1957 Toraja menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarklan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1957
dan Berdasarkan UU No.29/1959
Berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 dibentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Tana-Toraja yang peresmiannya dilakuan pada tanggal31 agustus 1957 dengan Kepala Daerah yang pertama bernama LAKITTA.
15. Puang Nataniel Taruk Allo Andilolo mengganti pamannya Puang Tandi Lesse Rante Allo sebagai Puang Basse Kakanna XV (terakhir) di Lembang Makale  atau kepala Distrik Makale (1960-1962)  pada saat itu Tanah Toraja telah terbentuk sebagai Kabupaten Daerah TK II Tanah Toraja dan yang menjadi Bupati KDH Tanah Toraja adalah Bupati H.L.LethePada tahun 1961 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A,Administrasi Pemerintahan berubah dengan penghapusan sistim Distrik dan Pembentukan PemerintahanKecamatan.Tana Toraja Pada waktu itu terdiri dari 15 Distrik dengan 410 Kampung berubah menjadi 9 Kecamatan dengan 135 Kampung,Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 desember 1965 diadakan pembentukan Desa Gaya Baru.


https://manukallodanga.wordpress.com/2011/07/31/raja-raja-toraja/