Sunday, March 1, 2015

The Culture of Toraja part3

1.       Sejarah Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Sudah diuraikan diatas bahwa hanya 3 orang tomanurun saja yang banyak dikenal dalam masyarakat dan sejarah Toraja, yaitu Puang Tomanurun Manurun di Langi’, Puang Tomanurun Mambio Langi’, dan Puang Tomanurun Tamboro Langi’. Tetapi dalam perkembangan sejarah puang-puang tomanurun sampai kepada keturunan-keturunannya, hanya Puang Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora saja yang banyak dikenal, baik sejarahnya sebagai puang tomanurun pencipta Aluk Sanda Saratu’ maupun sampai kepada keturunan-keturunannya banyak mempunyai sejarah serta banyak dikenal di luar daerah Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja.
Menurut sejarah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai Puang Tomanurun yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’ dikenal juga dengan nama Puang Tosikambi’ Aluk Sanda Saratu’ (puang yang memelihara dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu’) . Dipuja sebagai seorang setengah dewa oleh pengikut-pengikutnya, terutama di daerah adat Padang di Puangngi (bagian selatan dari tengah Tana Toraja). Keturunannya pun mewarisi kekuasaan dan perlakuan demikian. Hal ini sangat nyata di daerah adat kelompok Tallu Lembangna. Jika seorang puang pewaris kekuasaan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ menghadiri upacara Rambu Tuka’ , suatu upacara pengucapan syukur dalam Aluk Todolo, mereka mendapat pelayanan dan perlakuan yang istimewa sebagai seorang setengah dewa.
Yang banyak menjadi aturan dan ketentuan yang diatur di dalam Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah tentang bagaimana kedudukan puang tomanurun dan keturunannya dalam masyarakat, baik sebagai penguasa adat  maupun sebagai pemegang Aluk Sanda Saratu’. Sangat berbeda dengan daerah adat Padang di Ambe’I dan daerah adat Padang di Ma’dikai. Tetapi baik daerah adat Padang di Puangngi, Padang di Ambei’I, maupun daerah adat Padang di Ma’dikai tetap masih menjalankan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sehingga merupakan  alat pemersatu dari seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo serta merupakan suatu titik tolak dari terbinanya kebudayaan Tana Toraja.
Dalam masyarakat Toraja sekarang ini, sangat nyata adanya perbedaan dalam pembinaan masyarakat antara daerah adat Kelompok  Kapuangan Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan dengan daerah adat Padang di Ambe’i  dan daerah adat Padang di Ma’dikai, dimana kedua daerah adat ini system kemasyarakatan dan pemerintahannya terbina secara kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan, tetapi di daerah adat Padang di Puangngi terbina secara kesatuan yang monarchistis agama.
Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang menyebarkan Aluk Sanda Saratu’ dari istana/Tongkonan Kandora’ mengawini seorang putri dari istana/Tongkonan Ullin Sapan Deata yang bernama Sandabilik dan darai perkawinan itu lahirlah 8 orang anak, yaitu: 4 orang putri dan 4 orang putra yang menjadi bakal pelanjut dari ajaran Aluk Sanda Saratu’. Keempat orang putrinya mendiami daerah bagian Barat  dari Tondok Lepongan Bulan yaitu daerah adat Kama’dikaan dan keempat orang putranya mendiami bagian Tengah dari Tondok Lepongan Bulan yaitu daerah adat Padang di Puangngi. Keempatnya bergelar Puang, masing-masing :
1.       Puang Mesok , menguasai daerah Tengah dan Timur daerah adat Padang  di Puangngi
2.       Puang Tumambuli Buntu, menguasai daerah Utara daerah adat Padang di Puangngi
3.       Puang Papai Langi’, menguasai daerah Barat  daerah adat Padang di Puangngi
4.       Puang Sanda Boro, menguasai daerah Selatan daerah adat Padang di Puangngi
Puang Sanda Boro yang menguasai daerah Selatan daerah adat Padang di Puangngi (paling Selatan Toraja)  dengan istana/tongkonan yang bernama Batu Borong, mengawini  Datui Pattung atau Ao’ Gading, seorang anak puang dari bagian Selatan. Dari hasil perkawinannya ini melahirkan 2 orang anak, yaitu seorang putri bernama Puang Atemalolo dan seorang putra bernama Puang Lakipadada.
Setelah dewasa, Puang Lakipadada mengembara. Dalam mitos Lakipadada dikatakan pergi mencari hidup abadi dan terdampar atau tiba di daerah Gowa/Kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak dikenal siapa orangnya dan tidak diketahui dari mana datangnya. Tetapi karena keahlian dan kesaktian yang dimilikinya, maka Lakipadada diperlakukan sebagai seorang raja yang besar yang sebagian besar orang Gowa mengatakan bahwa anak raja yang tidak dikenal itu berasal dari Timur sehingga menyebut Lakipadada sebagai Tau Raya. Dalam bahasa Makassar, tau berarti orang dan raya berarti timur, dan menyebut pula tempat asalnya  dengan nama Tana Tau Raya. Hal ini juga merupakan salah satu sebab adanya nama Tana Toraja.
Menurut sejarah Toraja, Lakipadada mengawini seorang putri Raja Gowa yang bernama Karaeng Tata Lolo. Perkawinan mereka melahirkan 3 orang putra, yaitu:
1.       Patta La Bantan berkuasa di Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja  dengan gelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja;
2.       Pata La Merang berkuasa di Gowa  dengan gelar Somba ri Gowa;
3.       Patta La Bunga berkuasa di Luwu/ Wara’  dengan gelar Payung ri Luwu’ atau Payung ri Wara”.
Dalam sejarah Toraja, dari ketiga anak Puang Lakipadada inilah yang menguasai ketiga rumpun suku besar di Sulawesi-Selatan pada waktu itu. Dan ketiganya  dikenal sebagai Tallu Botto (tallu: 3, botto: puncak, penguasa) dari ketiga suku yang ada di Sulawesi-Selatan, yaitu: suku Makassar, suku Bugis dan suku Toraja.
Menurut sejarah Toraja, setelah dewasa Patta La Bantan menerima warisan kekuasaan dari ayahnya, Lakipadada,  dengan suatu tugas untuk melanjutkan peranan dari Tongkonan Kandora sebagai pusat Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dan sebagai pelanjut Aluk Sanda Saratu’.
Patta La Bantan berangkat  dengan membawa lambang kerajaannya, yaitu: bendera yang bernama Bate Manurun (bendera kekuasaan Tomanurun yang dibuat dari kain merah muda yang di atasnya bergambar burung Rajawali  dengan benang berwarna kuning emas) bersama dua bilah pedang, yang masing-masing bernama Dosso dan Maniang.
Menurut sejarah Toraja, Patta La Bantan diberikan pula semacam mata uang logam sebagai alat tukar menukar dalam kerajaannya yang dikenal  dengan nama Oang, yang sampai sekarang ini mata-mata Oang tersebut masih banyak disimpan oleh orang-orang Toraja sebagai benda perhiasan pusaka.
Pertama-tama Patta La Bantan merapat di pantai Bungi’ dekat muara sungai Sa’dan, kemudian menyusuri Sungai Sa’dan menuju Tondok Lepongan Bulan dan tiba pada perbatasan Batu Sapan Deata. Dari sana dia memulai perjalanannya mencari tempat untuk mengatur pemerintahannya, tapi karena daerah Sapan Deata itu bergunung-gunung dan berbatu-batu maka dia meneruskan perjalanannya ke sebelah timur. Tak lama kemudian tiba di suatu lembah yang agak luas dan berniat untuk membuat rumah di tempat itu. Lembah itu adalah kota Makale sekarang.
 Karena di pinggir lembah itu ada sebuah bukit, maka Patta La Bantan mendirikan rumah di atasnya. Bukit itu diberi nama Buntu Bungin, tempat Gereja Sion Makale, sebagai peringatan kepadanya ketika pertama kali mendarat di Pantai Bungin muara Sungai Sa’dan sewaktu hendak menuju ke Tondok Lepongan Bulan.
Dari sanalah dia mulai menanamkan pengaruhnya dan memulai pemerintahannya, tetapi mendapat tantangan dari penguasa-penguasa Puang yang telah berkuasa lebih dahulu  yang juga berasal dari keturunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’. Dalam keadaan belum mempunyai tempat untuk memulai kekuasaannya, Patta La Bantan bermukim ke bagian Utara dan sekaligus mengawini seorang putri Nononga, cucu Puang Manauk dari Kesu’ atau Putri Puang Lolon Datu dan Puang Malalun Sanda dari Istana/Tongkonan Nonongan yang telah membentuk pemerintahannya sendiri dengan memusatkannya pada Istana/Tongkonan Nonongan tersebut yang sampai sekarang ini bekas peninggalannya masih tetap dikenal.
Di Nonongan, Patta La Bantan membantu mertuanya membangun kekuasaan dan pemerintahan Nonongan, tetapi menurut sejarah Toraja dan  sejarah Nonongan, Patta La Bantan tidak pernah menguasai Nonongan. Hanya dikatakan bahwa istrinya itu bernama Puang Petimba Bulaan, yang adalah anak dari Puang Malalun Sanda dan Puang Lolon Datu dari Nonongan.
Menurut sejarah Toraja, Patta La Bantan tidak menetap tempat tinggalnya. Hal ini mungkin pula disebabkan karena tugas yang dibebankan oleh ayahnya, Lakipadada, kepadanya untuk berusaha menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan. Dan mungkin pula inilah yang menyebabkan mengapa Patta La Bantan menjadi Persengketaan di Tana Toraja, dimana sebenarnya pusat pemerintahannya? Ada yang mengatakan di Makale, ada yang mengatakan di Kaero, serta ada pula yang mengatakan di Saluputti. Hal itu kurang jelas, tetapi yang pasti ialah Patta La Bantan mengawini Putri Puang Petimba Bulaan dari istana/Tongkonan Nonongan dan melahirkan 2 orang putra, yaitu : Puang Pataang Langi’ dan Puang Menturino.
Puang Menturino kawin dengan Rangga Bulaan dan dari perkawinannya melahirkan pula 2 (dua) orang masing-masing : 
a.       Puang Panggalo-galo’ yang tetap tinggal di Nonongan
b.       Puang Timban Boro yang pergi ke Makale kemudian ke Kaero (Sangngalla’) dengan membawa seluruh Pusaka Patta Lan Bantan yaitu, Bendera Bata Manurun pedang Bosso dan Maniang untuk melanjutkan kekuasaan dari Patta Lan Bantan dan menyebarkan ajaran Aluk Sanda Saratu’ sebagai pelanjut dari Peranan Puang Tamboro Langi’.
Sejak itu terbinalah Kekuasaan Daerah Adat Padang di Puangngi dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ secara penuh yang berlaku di Daerah Kelompok Adat Tallu Lembangna dan daerah Adat Tallu Batupapan karena Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang termasuk daerah kelompok adat Balimbing Kalua’ tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’.
Puang Timban Boro di Kaero memusatkan Kekuasaannya di Tongkonan Kaero yaitu Tongkonan Puang Mambio Langi’ yang datang lebih duluan sedikit dari Puang Tamboro Langi’ dan dengan demikian cita-cita dari pada Patta Lan Bantan untuk menguasai dan mempersatukan seluruh daerah tidak berhasil karena anaknya dan cucunya sebagai pelanjut dan pemegang warisan kekuasaannya hanya dapat menguasai daerah adat Padang di Puangngi bagian selatan, yang penguasa-penguasanya bergelar Puang yaitu Daerah Kelompok Adat Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan, tetapi perikatan dan kesatuan dalam Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo tetap terbina bersama-sama dengan Daerah Adat Padang di Ambei dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai.
Sampai sekarang ini Lambang / bandera kekuasaan dari Patta La Bantan yaitu Bate Manurun dan Dosso serta Maniang tetap terpelihara dengan baik di Tongkonan Kaero sebagai salah pusat Pembinaan kekuasaan turunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ dan Kekuasaan dari Patta La Bantan.

2.       Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Aluk Sanda Saratu’ (agama dan aturan monarchi) seperti yang telah banyak diuraikan di atas bahwa adalah pula suatu Ajaran Agama dan Aturan yang tercipta di Tana Toraja oleh seseorang Puang Tomanurun yang namanya Puang Tamboro Langi’ pada sekitar permulaan abad ke 13.
Sudah dijelaskan di depan bahwa Aluk Sanda Saratu’ Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang Marinding oleh Tangdilino dan Pong Sulo Ara’ adalah aluk yang bersumber dari Sukaran Aluk yang masih dipegang teguh oleh Pong Sulo Ara’ dan sudah terpencar luas di seluruh Tondok Lepongan Bulan / Tana Toraja dan menjadi pegangan hidup seluruh Masyarakat Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang dikembangkan serta dibina dengan 3 (tiga) Dasar Lesoan Aluk pada masing-masing Daerah Adat besar yaitu Daerah Adat Padang di Ambe’i, Daerah Adat Padang di Puangngi dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai yang penyebarannya seluruhnya bernama Aluk Todolo karena aluk ini dianut oleh orang dulu-dulu (Todolo = orang yang dulu-dulu).
Setelah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ datang di daerah Adat Padang di Puangngi dengan istana / Tongkonan Kandora menciptakan ajaran baru yang dinamakan Aluk Sanda Saratu’ yang disebarkan di Daerah Adat Padang di Puangngi dan merupakan tambahan dari Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang telah ada lebih dahulu, maka sering dikatakan oleh orang bahwa Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Aluk Sanda Karua / Aluk 8888 yaitu maksudnya Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’.
Bahwa yang banyak diatur oleh Aluk Sanda Saratu’ adalah terutama yang berhubungan dengan aturan kedudukan Penguasa Adat Puang Tomanurun sebagai Pencipta Aluk Sanda Saratu’ yang telah mengambil alih kekuasaan dari Puang yang bukan turunan Tomanurun (Puang yang berasal dari Bamba Puang) karena Puang Tomanurun itu dianggap sebagai turunan Dewa kayangan, berarti yang mempunyai hubungan dengan kedudukannya dan peranannya sebagai Penguasa Adat dan sekaligus sebagai pemegang tampuk pimpinan Aluk terutama Aluk Sanda Saratu’ yang menempatkan Turunan Puang-Puang Tomanurun dimuliakan sebagai setengah Dewa namun tidak merobah nama dari Aluk Todolo sebagai nama yang menjadi nama dari Ajaran yang didasarkan atas aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang.
Inilah yang menjadi perbedaan yang menonjol diantara ketiga Daerah Adat besar di Tana Toraja yaitu Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu banyak merobah soal pergaulan masyarakat dan susunan pemerintahan yang sudah diletakkan oleh Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang berlaku sepenuhnya di Daerah Adat Padang di Ambe’i dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai dan perbedaan pokok itu adalah :
a         Perbedaan dari adanya perbedaan Dasar Lesoan Aluk berdasarkan pembahagian dan susunan yang bersumber dari Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
b        Perbedaan karena Daerah Adat Padang di Ambe’i dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai tidak melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang berdasarkan Mornachi Agama.
Setelah Aluk Sanda Saratu’ mulai berkembang dengan baik di daerah Adat Padang di Puangngi ada dari daerah Adat Padang di Puangngi yang tidak melaksanakan atau menerima ajaran Aluk Sanda Saratu’ yaitu daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi / Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang menyebabkan Daerah Adat Padang di Puangngi terbagi dua yaitu :
1.       Bagian Selatan Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ disamping melaksanakan pula ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
2.       Bagian Utara Daerah Adat Padang di Puangngi yaitu Kesu’ dan sekitarnya tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan tetap melaksanakan Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 sepenuhnya sama dengan Daerah Adat Padang di Ambe’i dan daerah Adat Padang di Ma’dikai.
Jadi dengan datangnya Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ maka susunan masyarakat di daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang mempergunakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ berobah dari dasar Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotongroyongan menjadi masyarakat yang berbentuk kesatuan yang monarchistis, sedang Daerah Adat yang tidak melaksanakan atau mempergunakan Aluk Sanda Saratu’ tetap dengan susunan masyarakat yang berbentuk Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotongroyongan sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
Karena Daerah Kesu’ dan sekitarnya yaitu bagian antara Daerah Adat Padang di Puangngi tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ seperti yang telah dikatakan di atas, maka daerah tersebut memisahkan dirinya dari Daerah Adat Padang di Puangngi dengan tetap masyarakatnya berbentuk Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotong-royongan dan dengan sendirinya tidak lagi memakai Gelar Puang untuk gelar Penguasa-Penguasa Adatnya maka mempergunakan Gelar Sokkong Bayu karena Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan tetap mempergunakan Gelar Puang, dan Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Utara yaitu Daerah Kesu’ dan sekitarnya masuk ke dalam Lesoan Aluk Kapemalaran yaitu dengan Dasar Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ sebagai daerah Adat Padang di Puangngi dari Banua Puan sebelum datangnya Aluk Sanda Saratu’ tetap dipergunakan / berlaku dan Gelar Puang terus berlaku di Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang sekarang ini dikenal dengan Daerah Adat Kelompok Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan.

3.       Daerah dan Alam Toraja
Dalam sejarah terbentuknya Daerah Tondok Lepongan Bulan tersebut di atas ternyata bahwa Daerah Tondok Lepongan Bulan Tanah Matarik Allo / Tana Toraja itu adalah Daerah-daerah yang meliputi seluruh pegunungan / sebelah utara di Sulawesi Selatan yaitu Daerah yang didiami oleh Suku Toraja yang menurut Sejarah Tondok Lepongan Bulan itu meliputi, dengan batas-batas :
a         Sebelah Utara dengan batas Daerah Poso dan Donggala
b        Sebelah Timur dengan batas Kerajaan Luwu yaitu dataran pantai Teluk Bone yang termasuk daerah Kerajaan Luwu’ dan pada bagian pegunungan termasuk Daerah Lepongan Bulan.
c         Sebelah Selatan dengan batas Gunung Sinaji membujur ke sebelah Barat melalui Enrekang terus ke Mandar.
d        Sebelah Barat dengan batas dataran pantai Barat Sulawesi Selatan pada bagian pegunungannya dataran pantai termasuk Kabupaten Mamuju.
Daerah-daerah yang begitu luas itu seperti yang telah dikatakan di atas bahwa sejak dari dahulu dibina oleh 3 (tiga) rumpun Adat Toraja yang masih sangat jelas sampai sekarang ini, tetapi ketiga Daerah Adat itu bersatu dan merupakan suatu Kesatuan Sosiologis berdasarkan adanya satu suku dan satu sumber aluk dengan adat dan budaya yang berpijak pada aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan kesatuan itu dahulu dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, dan masing-masing Daerah Adat itu masih terdiri atas beberapa Kelompok Adat masing-masing :
1).   Daerah bagian Selatan dikuasai oleh Penguasa Adat yang bergelar Puang dengan daerah adatnya bernama Padang di Puangngi (daerah adat Kapuangan) yang pada waktu sekarang ini terdiri atas 2 (dua) kelompok adat yaitu :
a.       Kelompok Adat Tallu Batupapan dan Endekan
b.       Kelompok Adat Tallu Lembangna
2).   Daerah bagian Timur dan Utara dikuasai oleh penguasa Adat yang bergelar Siambe’ dalam jabatan Toparengnge’-Toparengnge’, Sokkong Bayu dengan Daerah Adatnya bernama Daerah Adat Padang di Ambe’i (Daerah Adat Pakamberan) yang terdiri atas 4 (empat) kelompok adat sekarang ini yaitu :
a).       Kelompok Adat Balimbing Kalua’
b).       Kelompok Adat Basse Sangtempe’
c).       Kelompok Adat Sa’dan dan Balusu
d).       Kelompok Seko dan Rongkong.
3).   Daerah bagian Barat dikuasai oleh penguasa adat yang bergelar Ma’dika dengan daerah adatnya bernama daerah Adat Padang di Ma’dikai yang terdiri atas 2 (dua) kelompok adat yang pada waktu sekarang ini yaitu :
a).       Kelompok adat Tokalambunan
b).       Kelompok adat Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga.

Bahwa terbentuknya atau terjadinya kelompok-kelompok adat dalam tiap-tiap Daerah Adat Besar tersebut di atas itu adalah disebabkan oleh adanya kesamaan kepentingan dalam pembinaan keluarga atas dorongan kesamaan penderitaan untuk membina kehidupan seterusnya, namun kelompok-kelompok itu dibina atau dikuasai oleh suatu Badan Musyawarah Adat namanya Kombongan Ada’ (kombongan musyawarah; Adat-adat) dan sekaligus sebagai penguasa / Pemerintah yang berdiri sendiri yang dijiwai oleh perasaan Kesatuan dan Kekeluargaan. 

The Culture of Toraja part2

Dengan tersebarnya anak-anak Tangdilino’ di seluruh penjuru daerah maka resmilah terbentuk daerah yang menjadi Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang menggunakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dengan falsafah hidup yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo memakai Barre Allo sebagai lambang yang dipasang pada bagian depan rumah adat atau tongkonan dengan nama Pa’ Barre Allo, sebagai tanda terikat kesatuan Tondok Lepongan Bulan.
Anak-anak Tangdilino’ dalam menjalankan aturan dan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan dengan memegang kekuasaan di tiap-tiap daerah yang didatanginya harus mengikuti perkembangan di tempat itu. Tetapi tugas utamanya adalah harus menjalankan dan menyebarkan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dengan lambang kesatuan Lepongan Bulan yaitu Barre Allo.
Nama penguasa dan kedudukan penguasa di tiap tempat yang didatangi dapat terus digunakan, seperti daerah yang telah memakai gelar Puang tetap dengan gelar Puang, gelar Ambe’ tetap dengan gelar Ambe’. Tetapi pada daerah yang belum memiliki gelar penguasa yang tetap dari salah satu gelar di atas, harus memakai gelar Ma’dika sebagai gelar penguasa yang diciptakan oleh Tangdilino’.
Dalam ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 tersebut telah ditetapkan pula garis-garis pokok yang akan dilakukan oleh para penganutnya, terutama penerapannya dalam masyarakat harus memperhatikan kondisi dan keadaan masyarakat setempat guna mempermudah penyebaran ajaran tersebut. Penyebarannya di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan terbagi atas 3 bagian daerah menurut kondisi dan keadaan daerah masing-masing yang ditetapkan cara dan aturan pelaksanaannya pada masing-masing daerah. Aluk Sanda Pitunna /Aluk 7777 merupakan pedoman dalam pelaksanaan aturan agama untuk pemujaan dan penyembahan kepada Sang Pencipta yang ditetapkan dengan Lesoan Aluk (cara dan aturan pelaksanaan ajaran agama).
Menurut kondisi dan situasi daerah Tondok Lepongan Bulan dibagi atas tiga daerah Lesoan Aluk. Masing-masing dijelaskan dengan memakai patokan aturan dan dasar pemujaan serta penyembahan yang tertinggi dalam Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang dinamakan Tananan Bua’/ Upacara Bua’.   Tananan Bua’ merupakan suatu upacara yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Masing-masing daerah memiliki jumlah kurban persembahan yang berbeda-beda, yaitu:            
1.       Bagian timur dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka (Pemala: persembahan, tedong : kerbau, sangayoka : sepasang / 2 ekor) artinya upacara pemujaan tertinggi dengan kurban 2 ekor kerbau
2.       Bagian tengah dengan Tananan  Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ (sereala’: 24 ekor) artinya pemujaan tertinggi dengan 24 ekor kerbau
3.       Bagian barat dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang (sangbua bannang: seekor) artinya pemujaan tertinggi dengan kurban  satu ekor kerbau.
Terbagi tiganya dasar Lesoan Aluk dalam pelaksanaan upacara pemujaan dan persembahan yang tertinggi inilah yang menjadi dasar penyebab terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini dalam tiga daerah adat besar di kemudian hari.
Dari masing-masing daerah yang sudah terbagi 3 dalam dasar Lesoan Aluk, masing-masing mulai berkembang mengikuti pembagian dari dasar Lesoan Aluk itu. Hal ini pulalah yang menyebabkan terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan dalam penggunaan 3 gelar yang berbeda untuk penguasanya. Masing-masing daerah adat menggunakan gelar sesuai dengan gelar yang telah ada di masyarakat, dengan tetap memegang teguh Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Nama gelar untuk masing-masing penguasa di ketiga daerah adat tersebut  adalah :
1.       Bagian timur bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran  Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Ambe’i (padang: daerah, di Ambe’i : bergelar Ambe’) dan dinamakan pula daerah adat Pekamberan dengan penguasa adat bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong.
2.       Bagian tengah bergelar Puang
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan Bua’ Pemala’ Tedong  Sereala’ ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Puangngi (padang: daerah, di Puangngi : bergelar Puang) dan dinamakan pula daerah adat Kapuangan dengan penguasa adatnya bergelar Puang.
3.       Bagian barat bergelar Ma’dika
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Ma’dikai (padang: daerah, di Ma’dikai: bergelar Ma’dika) dan dinamakan pula daerah adat Kama’dikaan dengan penguasa adatnya bergelar Ma’dika.
Sejak anak-anak dan keturunan Tangdilino mulai berkuasa dan memerintah, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini terbagi dalam 3 daerah adat besar dengan masing-masing gelar penguasanya serta dasar Lesoan Aluk Kapemalaran (pemujaan & persembahan) yang berbeda, namun tetap bersatu dalam kesatuan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk7777 dari Banua Puan di Marinding sebagai satu kesatuan dengan susunan masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Sejak terbentuknya 3 daerah adat besar itu pula, maka sejak saat itu tiap daerah adat berkembang sesuai dengan kondisi dan keadaan daerah adat masing-masing. Dalam perkembangannya masing-masing memiliki tokoh adat dan tokoh agama sebagai orang yang pertama menyebarkan dan menyusun aturan pelaksanaan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 pada tiap daerah tersebut. Tiap daerah adat  berkembang dan dibina berdasarkan aturan pelaksanaan dari tokoh adat dan tokoh agama tersebut. Tokoh adat dan tokoh agama tersebut adalah :
1.       Siambe’ Pong Pasontik, berasal dari sebelah timur daerah adat Pekamberan (Padang di Ambe’i )
2.       Padang Pabane, berasal dari bagian tengah daerah adat Kapuangan (Padang di Puangngi)
3.       Ma’dika Tangdililing atau Pondan Padang, berasal dari daerah adat Kama’dikaan (Padang di Ma’dikai )
Dalam sejarah Toraja, sejak zaman purba sampai abad ke-12 Tana Toraja telah mengalami tiga kali perubahan bentuk kekuasaan dan pemerintahan  dengan gelar yang berbeda bagi masing-masing penguasanya karena mengikuti gelombang datangnya penguasa tersebut.
a         Penguasa yang pertama  dengan gelar Ambe’  atau Siambe’ Pong,  lahir dari   gelar Ambe’ Arroan  dan  Pong Pararrak, misalnya :
·         Siambe’ Pong Tiku
·         Siambe’ Pong Simpin
·         Siambe’ Pong Panimba
·         Siambe’ Pong Maramba’
·         Siambe’ Pong Palita, dll.
b        Penguasa yang kedua  dengan gelar Puang, lahir dari gelar Puang Lembang (yang empunya perahu). Gelar penguasa ini berasal dari Bambapuang, daerah Selatan Toraja. Nama setiap penguasa tersebut digabungkan dengan nama Tongkonan tempat penguasa tersebut berada atau dikuasainya, misalnya :
·         Puang ri Bintu
·         Puang ri Papan Sura’
·         Puang ri Supi’
·         Puang ri Barang
·         Puang ri Batu Borong, dll.
c         Penguasa yang ketiga  dengan gelar Ma’dika, diciptakan oleh Tangdilino dari Banua Puan. Tangdilino adalah seorang puang yang memerdekakan dirinya dari aturan dan kungkungan puang. Kata Ma’dika ini kemungkinan besar berasal dari kata maradeka (maradeka : merdeka, bebas). Gelar ini dipakai di daerah bagian barat Toraja. Dalam penggunaannya, gelar ini selalu digabungkan  dengan nama wilayah kekuasaan dari penguasanya. Misalnya :
·         Ma’dika Simbuang
·         Ma’dika Mamasa
·         Ma’dika Ulusalu, dll.
Dengan terbagi tiganya daerah adat Toraja/Tondok Lepongan Bulan berdasarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan, berarti tiap daerah adat tidak menguasai satu sama lainnya, tetapi tetap merupakan satu kesatuan negeri yang bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Keadaan ini berlangsung sampai kedatangan penguasa baru  dengan zaman tersendiri yang dikenal  dengan Zaman Datangnya Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan, yaitu pada abad ke-13.

1.       Zaman Datangnya Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan
Sekitar 150 tahun setelah tersebarnya Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 di Tondok Lepongan Bulan, datang pula gelombang penguasa yang tanpa pengikut. Dalam sejarah Toraja dikenal  dengan datangnya Tomanurun (to: orang, manurun: turun dari langit/ turunan dewa). Jadi Tomanurun berarti keturunan dewa.
Kedatangan Tomanurun merupakan ancaman kepada para penguasa Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang sudah menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan, karena para Tomanurun tersebut lebih cakap dan berwibawa dalam memimpin dan membina masyarakat. Masyarakat menganggap mereka sebagai penguasa turunan dewa yang turun dari kayangan.
Dalam sejarah Toraja, ada beberapa tempat di Toraja yang didatangi oleh Tomanurun. Tetapi Tomanurun yang terkenal adalah :
a.     Tomanurun Manurun di Langi’ di Kesu’
b.     Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora’
c.     Tomanurun Mambio Langi’ di Kaero
Selain dari tomanurun tersebut, masih ada beberapa tomanurun lainnya yang datang di Toraja, tetapi tidak banyak dikenal karena dalam sejarah Toraja hanya mereka saja yang sejak kedatangannya mempunyai susunan pemerintahan yang terbina terus menerus sehingga banyak meninggalkan sejarah. Selain itu hanya ketiga tomanurun tersebut yang dianggap turun dari langit sehingga memakai nama Langi’ di belakang namanya.
Menurut sejarahnya, tomanurun-tomanurun yang datang itu adalah orang-orang yang sangat pandai dan cerdik. Dalam mendekatkan diri dengan masyarakat mereka sangat bijaksana. Selain itu mereka juga mengajarkan masyarakat cara bercocok tanam dan beternak yang baik, sehingga masyarakat menyebut mereka sebagai orang yang maha tahu dan saleh. Hal ini dibuktikannya dengan bimbingannya kepada masyarakat untuk memuja dan menyembah  kepada sang pencipta yang maha kuasa seperti yang telah diajarkan oleh ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777, maka semua tomanurun itu digolongkan dalam golongan masyarakat  yang disebut Tomatasak (to: orang; matasak: asli, mulia, sempurna). Ternyata dikemudian hari setelah Patta Labantan, putra Puang Lakipadada datang berkuasa di Toraja, ia bergelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja, karena seluruh penguasa turunan puang tomanurun dinamakan Tomatasak
Ketiga tomanurun tersebut di atas semuanya datang di daerah adat Kapuangan/ Padang di Puangngi. Sesuai pembagian daerah adat dari Banua Puan di Marinding, dimana penguasanya bergelar puang, maka tomanurun-tomanurun itu pun bergelar puang. Tetapi  kedudukan mereka dianggap dan dipandang lebih tinggi dari puang-puang yang telah ada, karena mereka dianggap sebagai keturunan dewa dari kayangan.
Sejak itu terkenallah puang-puang tomanurun sebagai penguasa yang tertinggi dalam masyarakat sekaligus mengambil alih kekuasaan dari para puang yang telah ada. Maka mulailah puang turunan tomanurun dan seluruh keturunannya memegang kekuasaan adat sebagai pengganti para puang yang bukan tomanurun. Selain sebagai pemegang kekuasaan, masyarakat juga menganggapnya setengah dewa dengan gelar Puang Tomatasak yang oleh masyarakat disebut :
Tomamma balian, tomatindo bai tora, totang unranngi arrak tang unpedailling gamara, totang di ola bobona, tang di lomban tingayona, todikulambu mawa’, todirinding dotilangi’, tangna lambi’ peruso kalando, dst.       
Artinya orang yang tidur nyenyak dalam kemuliaan tak dapat diganggu serta tak dapat dihampiri karena tidak dapat diduga keinginannya, dst.
Sejak puang-puang Tomanurun merebut kekuasaan dari puang yang bukan Tomanurun, di daerah adat Padang di Puangngi, mereka mulai menerapkan cara-cara pemerintahan baru yang agak berbeda dengan pemerintahan dan susunan masyarakat yang telah ada sebelumnya, yaitu berbeda dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan. Cara-cara pemerintahan dari Puang Tomanurun itu disesuaikan dengan keadaan dan kedudukan serta pandangan masyarakat kepada mereka sebagai seorang penguasa keturunan dewa kayangan atau penguasa setengah dewa.
Terutama setelah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ mulai menciptakan dan menyusun aturan baru atau aluk baru untuk pembinaan kekuasaannya, yang dalam sejarah Toraja dikenal dengan nama Aluk Sanda Saratu’ (aturan genap seratus/ aturan monarki). Sejak itu di daerah adat Padang di Puangngi atau daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan mulai disebarkan 2 macam ajaran dan aturan yaitu Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’ (saratu’: seratus). Aluk Sanda Saratu’ inilah yang baru disusun oleh Puang Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai aturan di daerah adat Padang di Puangngi, sehingga pada saat itu ada pendapat yang mengatakan bahwa di daerah adat Padang di Puangngi  tersebar Aluk Sanda Karua/ Aluk 8888 (karua: delapan), yaitu Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777  dan Aluk Sanda Saratu’.
Dengan adanya penyebaran Aluk Sanda Saratu’ di daerah adat Padang di Puangngi, maka daerah itu mengalami banyak perubahan besar yang sangat menonjol. Cara-cara pelaksanaan pemerintahannya berbeda dengan cara pemerintahan di dua daerah adat lainnya, yaitu : daerah adat Padang di Ambe’i  (bagian timur) dan daerah adat Padang di Ma’dikai (bagian barat) yang hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Perubahan yang terjadi dalam cara pemerintahan di daerah adat Padang di Puangngi ini adalah menyangkut hubungan dan kedudukan penguasa adat Puang Tomanurun dengan masyarakat yang dikuasainya. Lambat laun struktur pemerintahan dan susunan masyarakatnya berubah, dari masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777, menjadi suatu masyarakat dengan struktur pemerintahan dan kemasyarakatan yang berdasarkan kesatuan yang monarkistis.
Selain puang-puang tomanurun yang disebutkan di atas, masih ada pula beberapa tomanurun yang datangnya tidak di daerah Padang di Puangngi, antara lain : Tomanurun di Rombe Ao’, Tomanurun di Kabongian, Tomanurun di Sado’ko’, dll. Tetapi kesemuanya itu tidak banyak diketahui sejarahnya. Hanya ketiga tomanurun tersebut di atas, yaitu : Tomanurun Manurun di Langi’, Tomanurun Tamboro Langi’, dan Tomanurun Mambio Langi’ yang mempunyai sejarah dan kekuasaan yang terbina sejak dulu dengan susunan tertentu sampai sekarang.

Terbaginya Daerah Adat Padang Di Puangngi

Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah puang tomanurun yang terakhir dari ketiga tomanurun yang terkenal itu. Dia pulalah yang paling cakap dan paling disegani oleh masyarakat, karena dialah yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’, suatu aturan pemerintahan yang bersifat Monarkis Agama yang diterapkan dalam daerah adat Padang di Puangngi/ daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan.
Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ yang  telah disusunnya itu menyebarkan ajaran tersebut di seluruh daerah adat Padang di Puangngi dengan dibantu oleh 4 orang putranya. Pada mulanya mereka mendapat sambutan dari masyarakat, karena anggapan masyarakat, mereka adalah pemerintah yang berasal dari keturunan dewa kayangan. Tetapi lama kelamaan sambutan mereka menjadi berkurang karena sebagian anak-anaknya kurang meyakini ajaran dengan aturan Monarkistis itu sebagai pengganti aturan dalam masyarakat dan pemerintahan yang demokratis dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777.
Daerah yang tidak dapat melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah utamanya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara (bagian tengah Tondok Lepongan Bulan). Bagian utara  Padang di Puangngi adalah daerah Kesu’ dan sekitarnya. Mereka tetap hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Hanya setelah adanya Aluk Sanda Saratu’, penyebutan gelar untuk ketua adat atau penguasa adat berubah. Mereka tidak lagi memakai gelar Puang tetapi gelar Sokkong Bayu yang kedudukan dan derajatnya tetap sama dengan gelar puang. Sokkong Bayu berasal dari kata sokkong yang berarti kuduk dan bayu yang berarti baju;  sokkong bayu adalah bagian dari baju yang paling lekas kotor. Jadi dalam hal ini  Sokkong Bayu adalah orang yang  paling lekas merasa dalam semua masalah masyarakat ; artinya pemikul beban terberat dalam masyarakat.
Berbeda dengan daerah selatan dari Padang di Puangngi. Mereka tetap memakai gelar puang meskipun melaksanakan 2 aturan, yaitu : Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’.
Dengan tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ di bagian selatan daerah adat Padang di Puangngi, maka bagian utara memisahkan diri karena tidak dapat melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan tetap melaksanakan aturan yang sesuai dengan pembagian yang pertama ada dalam Banua Puan, yaitu  sebagai daerah adat dengan dasar Lesoan Aluk yang menggunakan kurban 24 ekor kerbau untuk Pemala Tananan Bua’ (upacara yang tertinggi). Meskipun sejak tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ mereka melepaskan gelar Puang dan memakai gelar Sokkong Bayu, tetapi sebagai dasar Lesoan Aluk Padang di Puangngi menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dari Banuan Puan tetap berlaku untuk seluruh daerah adat Padang di Puangngi, baik daerah bagian selatan maupun bagian utara / Kesu’ dan sekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat di daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi, yaitu Kesu’ dan sekitarnya kemudian termasuk dalam kelompok adat  Balimbing Kalua’ sekarang ini sudah dikenal dengan kelompok daerah adat  yang termasuk Padang di Ambe’i karena pembinaan masyarakat dan pemerintahannya sama dengan daerah adat Padang di Ambe’i, yaitu menurut pembagian dari Banua Puan di Marinding. Namun dasar Lesoan Aluk daerah adat Padang di Puangngi masih tetap dilaksanakan, yaitu dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ , yang pada daerah adat Padang di Ambe’i lainnya hanya dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sang Ayoka. Sejak terpisahnya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara tersebut, maka dengan resmi terbentuklah daerah adat Padang di Puangngi yang menggunakan ajaran Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’ yang sampai sekarang ini dikenal dengan kelompok adat  Padang di Puangngi Tallu Lembangna (tallu: tiga; lembangna : perahunya) dan kelompok adat Padang di Puangngi Tallu Batupapan ( tallu: tiga; batupapan: pemerintahan sendiri).

Dengan terbentuknya daerah adat Padang di Puangngi setelah kedatangan Aluk Sanda Saratu’, maka pusat penyebaran dari Aluk Saanda Pitunna/Aluk 7777 beralih dari Banua Puan Marinding ke Kesu’ dengan nama Panta’nakan Lolo (panta’nakan: pesemaian ; lolo: muda, pertama,kuncup) karena dari Kesu’lah terus terbina dan tersusunnya aturan kelengkapan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777. Sedangkan Banua Puan di marinding telah termasuk dalam daerah hukum Aluk Sanda Saratu’ atau ditaktis oleh penguasa-penguasa Aluk Sanda Saratu’.