Sunday, March 1, 2015

The Culture of Toraja part2

Dengan tersebarnya anak-anak Tangdilino’ di seluruh penjuru daerah maka resmilah terbentuk daerah yang menjadi Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang menggunakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dengan falsafah hidup yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo memakai Barre Allo sebagai lambang yang dipasang pada bagian depan rumah adat atau tongkonan dengan nama Pa’ Barre Allo, sebagai tanda terikat kesatuan Tondok Lepongan Bulan.
Anak-anak Tangdilino’ dalam menjalankan aturan dan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan dengan memegang kekuasaan di tiap-tiap daerah yang didatanginya harus mengikuti perkembangan di tempat itu. Tetapi tugas utamanya adalah harus menjalankan dan menyebarkan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dengan lambang kesatuan Lepongan Bulan yaitu Barre Allo.
Nama penguasa dan kedudukan penguasa di tiap tempat yang didatangi dapat terus digunakan, seperti daerah yang telah memakai gelar Puang tetap dengan gelar Puang, gelar Ambe’ tetap dengan gelar Ambe’. Tetapi pada daerah yang belum memiliki gelar penguasa yang tetap dari salah satu gelar di atas, harus memakai gelar Ma’dika sebagai gelar penguasa yang diciptakan oleh Tangdilino’.
Dalam ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 tersebut telah ditetapkan pula garis-garis pokok yang akan dilakukan oleh para penganutnya, terutama penerapannya dalam masyarakat harus memperhatikan kondisi dan keadaan masyarakat setempat guna mempermudah penyebaran ajaran tersebut. Penyebarannya di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan terbagi atas 3 bagian daerah menurut kondisi dan keadaan daerah masing-masing yang ditetapkan cara dan aturan pelaksanaannya pada masing-masing daerah. Aluk Sanda Pitunna /Aluk 7777 merupakan pedoman dalam pelaksanaan aturan agama untuk pemujaan dan penyembahan kepada Sang Pencipta yang ditetapkan dengan Lesoan Aluk (cara dan aturan pelaksanaan ajaran agama).
Menurut kondisi dan situasi daerah Tondok Lepongan Bulan dibagi atas tiga daerah Lesoan Aluk. Masing-masing dijelaskan dengan memakai patokan aturan dan dasar pemujaan serta penyembahan yang tertinggi dalam Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang dinamakan Tananan Bua’/ Upacara Bua’.   Tananan Bua’ merupakan suatu upacara yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Masing-masing daerah memiliki jumlah kurban persembahan yang berbeda-beda, yaitu:            
1.       Bagian timur dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka (Pemala: persembahan, tedong : kerbau, sangayoka : sepasang / 2 ekor) artinya upacara pemujaan tertinggi dengan kurban 2 ekor kerbau
2.       Bagian tengah dengan Tananan  Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ (sereala’: 24 ekor) artinya pemujaan tertinggi dengan 24 ekor kerbau
3.       Bagian barat dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang (sangbua bannang: seekor) artinya pemujaan tertinggi dengan kurban  satu ekor kerbau.
Terbagi tiganya dasar Lesoan Aluk dalam pelaksanaan upacara pemujaan dan persembahan yang tertinggi inilah yang menjadi dasar penyebab terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini dalam tiga daerah adat besar di kemudian hari.
Dari masing-masing daerah yang sudah terbagi 3 dalam dasar Lesoan Aluk, masing-masing mulai berkembang mengikuti pembagian dari dasar Lesoan Aluk itu. Hal ini pulalah yang menyebabkan terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan dalam penggunaan 3 gelar yang berbeda untuk penguasanya. Masing-masing daerah adat menggunakan gelar sesuai dengan gelar yang telah ada di masyarakat, dengan tetap memegang teguh Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Nama gelar untuk masing-masing penguasa di ketiga daerah adat tersebut  adalah :
1.       Bagian timur bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran  Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Ambe’i (padang: daerah, di Ambe’i : bergelar Ambe’) dan dinamakan pula daerah adat Pekamberan dengan penguasa adat bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong.
2.       Bagian tengah bergelar Puang
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan Bua’ Pemala’ Tedong  Sereala’ ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Puangngi (padang: daerah, di Puangngi : bergelar Puang) dan dinamakan pula daerah adat Kapuangan dengan penguasa adatnya bergelar Puang.
3.       Bagian barat bergelar Ma’dika
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang ini merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Ma’dikai (padang: daerah, di Ma’dikai: bergelar Ma’dika) dan dinamakan pula daerah adat Kama’dikaan dengan penguasa adatnya bergelar Ma’dika.
Sejak anak-anak dan keturunan Tangdilino mulai berkuasa dan memerintah, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini terbagi dalam 3 daerah adat besar dengan masing-masing gelar penguasanya serta dasar Lesoan Aluk Kapemalaran (pemujaan & persembahan) yang berbeda, namun tetap bersatu dalam kesatuan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk7777 dari Banua Puan di Marinding sebagai satu kesatuan dengan susunan masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Sejak terbentuknya 3 daerah adat besar itu pula, maka sejak saat itu tiap daerah adat berkembang sesuai dengan kondisi dan keadaan daerah adat masing-masing. Dalam perkembangannya masing-masing memiliki tokoh adat dan tokoh agama sebagai orang yang pertama menyebarkan dan menyusun aturan pelaksanaan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 pada tiap daerah tersebut. Tiap daerah adat  berkembang dan dibina berdasarkan aturan pelaksanaan dari tokoh adat dan tokoh agama tersebut. Tokoh adat dan tokoh agama tersebut adalah :
1.       Siambe’ Pong Pasontik, berasal dari sebelah timur daerah adat Pekamberan (Padang di Ambe’i )
2.       Padang Pabane, berasal dari bagian tengah daerah adat Kapuangan (Padang di Puangngi)
3.       Ma’dika Tangdililing atau Pondan Padang, berasal dari daerah adat Kama’dikaan (Padang di Ma’dikai )
Dalam sejarah Toraja, sejak zaman purba sampai abad ke-12 Tana Toraja telah mengalami tiga kali perubahan bentuk kekuasaan dan pemerintahan  dengan gelar yang berbeda bagi masing-masing penguasanya karena mengikuti gelombang datangnya penguasa tersebut.
a         Penguasa yang pertama  dengan gelar Ambe’  atau Siambe’ Pong,  lahir dari   gelar Ambe’ Arroan  dan  Pong Pararrak, misalnya :
·         Siambe’ Pong Tiku
·         Siambe’ Pong Simpin
·         Siambe’ Pong Panimba
·         Siambe’ Pong Maramba’
·         Siambe’ Pong Palita, dll.
b        Penguasa yang kedua  dengan gelar Puang, lahir dari gelar Puang Lembang (yang empunya perahu). Gelar penguasa ini berasal dari Bambapuang, daerah Selatan Toraja. Nama setiap penguasa tersebut digabungkan dengan nama Tongkonan tempat penguasa tersebut berada atau dikuasainya, misalnya :
·         Puang ri Bintu
·         Puang ri Papan Sura’
·         Puang ri Supi’
·         Puang ri Barang
·         Puang ri Batu Borong, dll.
c         Penguasa yang ketiga  dengan gelar Ma’dika, diciptakan oleh Tangdilino dari Banua Puan. Tangdilino adalah seorang puang yang memerdekakan dirinya dari aturan dan kungkungan puang. Kata Ma’dika ini kemungkinan besar berasal dari kata maradeka (maradeka : merdeka, bebas). Gelar ini dipakai di daerah bagian barat Toraja. Dalam penggunaannya, gelar ini selalu digabungkan  dengan nama wilayah kekuasaan dari penguasanya. Misalnya :
·         Ma’dika Simbuang
·         Ma’dika Mamasa
·         Ma’dika Ulusalu, dll.
Dengan terbagi tiganya daerah adat Toraja/Tondok Lepongan Bulan berdasarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan, berarti tiap daerah adat tidak menguasai satu sama lainnya, tetapi tetap merupakan satu kesatuan negeri yang bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Keadaan ini berlangsung sampai kedatangan penguasa baru  dengan zaman tersendiri yang dikenal  dengan Zaman Datangnya Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan, yaitu pada abad ke-13.

1.       Zaman Datangnya Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan
Sekitar 150 tahun setelah tersebarnya Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 di Tondok Lepongan Bulan, datang pula gelombang penguasa yang tanpa pengikut. Dalam sejarah Toraja dikenal  dengan datangnya Tomanurun (to: orang, manurun: turun dari langit/ turunan dewa). Jadi Tomanurun berarti keturunan dewa.
Kedatangan Tomanurun merupakan ancaman kepada para penguasa Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang sudah menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan, karena para Tomanurun tersebut lebih cakap dan berwibawa dalam memimpin dan membina masyarakat. Masyarakat menganggap mereka sebagai penguasa turunan dewa yang turun dari kayangan.
Dalam sejarah Toraja, ada beberapa tempat di Toraja yang didatangi oleh Tomanurun. Tetapi Tomanurun yang terkenal adalah :
a.     Tomanurun Manurun di Langi’ di Kesu’
b.     Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora’
c.     Tomanurun Mambio Langi’ di Kaero
Selain dari tomanurun tersebut, masih ada beberapa tomanurun lainnya yang datang di Toraja, tetapi tidak banyak dikenal karena dalam sejarah Toraja hanya mereka saja yang sejak kedatangannya mempunyai susunan pemerintahan yang terbina terus menerus sehingga banyak meninggalkan sejarah. Selain itu hanya ketiga tomanurun tersebut yang dianggap turun dari langit sehingga memakai nama Langi’ di belakang namanya.
Menurut sejarahnya, tomanurun-tomanurun yang datang itu adalah orang-orang yang sangat pandai dan cerdik. Dalam mendekatkan diri dengan masyarakat mereka sangat bijaksana. Selain itu mereka juga mengajarkan masyarakat cara bercocok tanam dan beternak yang baik, sehingga masyarakat menyebut mereka sebagai orang yang maha tahu dan saleh. Hal ini dibuktikannya dengan bimbingannya kepada masyarakat untuk memuja dan menyembah  kepada sang pencipta yang maha kuasa seperti yang telah diajarkan oleh ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777, maka semua tomanurun itu digolongkan dalam golongan masyarakat  yang disebut Tomatasak (to: orang; matasak: asli, mulia, sempurna). Ternyata dikemudian hari setelah Patta Labantan, putra Puang Lakipadada datang berkuasa di Toraja, ia bergelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja, karena seluruh penguasa turunan puang tomanurun dinamakan Tomatasak
Ketiga tomanurun tersebut di atas semuanya datang di daerah adat Kapuangan/ Padang di Puangngi. Sesuai pembagian daerah adat dari Banua Puan di Marinding, dimana penguasanya bergelar puang, maka tomanurun-tomanurun itu pun bergelar puang. Tetapi  kedudukan mereka dianggap dan dipandang lebih tinggi dari puang-puang yang telah ada, karena mereka dianggap sebagai keturunan dewa dari kayangan.
Sejak itu terkenallah puang-puang tomanurun sebagai penguasa yang tertinggi dalam masyarakat sekaligus mengambil alih kekuasaan dari para puang yang telah ada. Maka mulailah puang turunan tomanurun dan seluruh keturunannya memegang kekuasaan adat sebagai pengganti para puang yang bukan tomanurun. Selain sebagai pemegang kekuasaan, masyarakat juga menganggapnya setengah dewa dengan gelar Puang Tomatasak yang oleh masyarakat disebut :
Tomamma balian, tomatindo bai tora, totang unranngi arrak tang unpedailling gamara, totang di ola bobona, tang di lomban tingayona, todikulambu mawa’, todirinding dotilangi’, tangna lambi’ peruso kalando, dst.       
Artinya orang yang tidur nyenyak dalam kemuliaan tak dapat diganggu serta tak dapat dihampiri karena tidak dapat diduga keinginannya, dst.
Sejak puang-puang Tomanurun merebut kekuasaan dari puang yang bukan Tomanurun, di daerah adat Padang di Puangngi, mereka mulai menerapkan cara-cara pemerintahan baru yang agak berbeda dengan pemerintahan dan susunan masyarakat yang telah ada sebelumnya, yaitu berbeda dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan. Cara-cara pemerintahan dari Puang Tomanurun itu disesuaikan dengan keadaan dan kedudukan serta pandangan masyarakat kepada mereka sebagai seorang penguasa keturunan dewa kayangan atau penguasa setengah dewa.
Terutama setelah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ mulai menciptakan dan menyusun aturan baru atau aluk baru untuk pembinaan kekuasaannya, yang dalam sejarah Toraja dikenal dengan nama Aluk Sanda Saratu’ (aturan genap seratus/ aturan monarki). Sejak itu di daerah adat Padang di Puangngi atau daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan mulai disebarkan 2 macam ajaran dan aturan yaitu Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’ (saratu’: seratus). Aluk Sanda Saratu’ inilah yang baru disusun oleh Puang Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai aturan di daerah adat Padang di Puangngi, sehingga pada saat itu ada pendapat yang mengatakan bahwa di daerah adat Padang di Puangngi  tersebar Aluk Sanda Karua/ Aluk 8888 (karua: delapan), yaitu Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777  dan Aluk Sanda Saratu’.
Dengan adanya penyebaran Aluk Sanda Saratu’ di daerah adat Padang di Puangngi, maka daerah itu mengalami banyak perubahan besar yang sangat menonjol. Cara-cara pelaksanaan pemerintahannya berbeda dengan cara pemerintahan di dua daerah adat lainnya, yaitu : daerah adat Padang di Ambe’i  (bagian timur) dan daerah adat Padang di Ma’dikai (bagian barat) yang hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Perubahan yang terjadi dalam cara pemerintahan di daerah adat Padang di Puangngi ini adalah menyangkut hubungan dan kedudukan penguasa adat Puang Tomanurun dengan masyarakat yang dikuasainya. Lambat laun struktur pemerintahan dan susunan masyarakatnya berubah, dari masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777, menjadi suatu masyarakat dengan struktur pemerintahan dan kemasyarakatan yang berdasarkan kesatuan yang monarkistis.
Selain puang-puang tomanurun yang disebutkan di atas, masih ada pula beberapa tomanurun yang datangnya tidak di daerah Padang di Puangngi, antara lain : Tomanurun di Rombe Ao’, Tomanurun di Kabongian, Tomanurun di Sado’ko’, dll. Tetapi kesemuanya itu tidak banyak diketahui sejarahnya. Hanya ketiga tomanurun tersebut di atas, yaitu : Tomanurun Manurun di Langi’, Tomanurun Tamboro Langi’, dan Tomanurun Mambio Langi’ yang mempunyai sejarah dan kekuasaan yang terbina sejak dulu dengan susunan tertentu sampai sekarang.

Terbaginya Daerah Adat Padang Di Puangngi

Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah puang tomanurun yang terakhir dari ketiga tomanurun yang terkenal itu. Dia pulalah yang paling cakap dan paling disegani oleh masyarakat, karena dialah yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’, suatu aturan pemerintahan yang bersifat Monarkis Agama yang diterapkan dalam daerah adat Padang di Puangngi/ daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan.
Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ yang  telah disusunnya itu menyebarkan ajaran tersebut di seluruh daerah adat Padang di Puangngi dengan dibantu oleh 4 orang putranya. Pada mulanya mereka mendapat sambutan dari masyarakat, karena anggapan masyarakat, mereka adalah pemerintah yang berasal dari keturunan dewa kayangan. Tetapi lama kelamaan sambutan mereka menjadi berkurang karena sebagian anak-anaknya kurang meyakini ajaran dengan aturan Monarkistis itu sebagai pengganti aturan dalam masyarakat dan pemerintahan yang demokratis dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777.
Daerah yang tidak dapat melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah utamanya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara (bagian tengah Tondok Lepongan Bulan). Bagian utara  Padang di Puangngi adalah daerah Kesu’ dan sekitarnya. Mereka tetap hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Hanya setelah adanya Aluk Sanda Saratu’, penyebutan gelar untuk ketua adat atau penguasa adat berubah. Mereka tidak lagi memakai gelar Puang tetapi gelar Sokkong Bayu yang kedudukan dan derajatnya tetap sama dengan gelar puang. Sokkong Bayu berasal dari kata sokkong yang berarti kuduk dan bayu yang berarti baju;  sokkong bayu adalah bagian dari baju yang paling lekas kotor. Jadi dalam hal ini  Sokkong Bayu adalah orang yang  paling lekas merasa dalam semua masalah masyarakat ; artinya pemikul beban terberat dalam masyarakat.
Berbeda dengan daerah selatan dari Padang di Puangngi. Mereka tetap memakai gelar puang meskipun melaksanakan 2 aturan, yaitu : Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’.
Dengan tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ di bagian selatan daerah adat Padang di Puangngi, maka bagian utara memisahkan diri karena tidak dapat melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan tetap melaksanakan aturan yang sesuai dengan pembagian yang pertama ada dalam Banua Puan, yaitu  sebagai daerah adat dengan dasar Lesoan Aluk yang menggunakan kurban 24 ekor kerbau untuk Pemala Tananan Bua’ (upacara yang tertinggi). Meskipun sejak tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ mereka melepaskan gelar Puang dan memakai gelar Sokkong Bayu, tetapi sebagai dasar Lesoan Aluk Padang di Puangngi menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dari Banuan Puan tetap berlaku untuk seluruh daerah adat Padang di Puangngi, baik daerah bagian selatan maupun bagian utara / Kesu’ dan sekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat di daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi, yaitu Kesu’ dan sekitarnya kemudian termasuk dalam kelompok adat  Balimbing Kalua’ sekarang ini sudah dikenal dengan kelompok daerah adat  yang termasuk Padang di Ambe’i karena pembinaan masyarakat dan pemerintahannya sama dengan daerah adat Padang di Ambe’i, yaitu menurut pembagian dari Banua Puan di Marinding. Namun dasar Lesoan Aluk daerah adat Padang di Puangngi masih tetap dilaksanakan, yaitu dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ , yang pada daerah adat Padang di Ambe’i lainnya hanya dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sang Ayoka. Sejak terpisahnya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara tersebut, maka dengan resmi terbentuklah daerah adat Padang di Puangngi yang menggunakan ajaran Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’ yang sampai sekarang ini dikenal dengan kelompok adat  Padang di Puangngi Tallu Lembangna (tallu: tiga; lembangna : perahunya) dan kelompok adat Padang di Puangngi Tallu Batupapan ( tallu: tiga; batupapan: pemerintahan sendiri).

Dengan terbentuknya daerah adat Padang di Puangngi setelah kedatangan Aluk Sanda Saratu’, maka pusat penyebaran dari Aluk Saanda Pitunna/Aluk 7777 beralih dari Banua Puan Marinding ke Kesu’ dengan nama Panta’nakan Lolo (panta’nakan: pesemaian ; lolo: muda, pertama,kuncup) karena dari Kesu’lah terus terbina dan tersusunnya aturan kelengkapan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777. Sedangkan Banua Puan di marinding telah termasuk dalam daerah hukum Aluk Sanda Saratu’ atau ditaktis oleh penguasa-penguasa Aluk Sanda Saratu’.

No comments:

Post a Comment