Dengan tersebarnya anak-anak Tangdilino’ di seluruh
penjuru daerah maka resmilah terbentuk daerah yang menjadi Tondok Lepongan
Bulan Tana Matarik Allo yang menggunakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dengan
falsafah hidup yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan.
Seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo memakai Barre Allo
sebagai lambang yang dipasang pada bagian depan rumah adat atau tongkonan
dengan nama Pa’ Barre Allo, sebagai tanda terikat kesatuan Tondok Lepongan
Bulan.
Anak-anak Tangdilino’ dalam menjalankan aturan dan
Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan dengan memegang kekuasaan di
tiap-tiap daerah yang didatanginya harus mengikuti perkembangan di tempat itu.
Tetapi tugas utamanya adalah harus menjalankan dan menyebarkan Aluk Sanda
Pitunna/Aluk 7777 dengan lambang kesatuan Lepongan Bulan yaitu Barre Allo.
Nama penguasa dan kedudukan penguasa di tiap tempat
yang didatangi dapat terus digunakan, seperti daerah yang telah memakai gelar
Puang tetap dengan gelar Puang, gelar Ambe’ tetap dengan gelar Ambe’. Tetapi
pada daerah yang belum memiliki gelar penguasa yang tetap dari salah satu gelar
di atas, harus memakai gelar Ma’dika sebagai gelar penguasa yang diciptakan
oleh Tangdilino’.
Dalam ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 tersebut
telah ditetapkan pula garis-garis pokok yang akan dilakukan oleh para
penganutnya, terutama penerapannya dalam masyarakat harus memperhatikan kondisi
dan keadaan masyarakat setempat guna mempermudah penyebaran ajaran tersebut.
Penyebarannya di seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan terbagi atas 3 bagian
daerah menurut kondisi dan keadaan daerah masing-masing yang ditetapkan cara
dan aturan pelaksanaannya pada masing-masing daerah. Aluk Sanda Pitunna /Aluk
7777 merupakan pedoman dalam pelaksanaan aturan agama untuk pemujaan dan
penyembahan kepada Sang Pencipta yang ditetapkan dengan Lesoan Aluk (cara dan
aturan pelaksanaan ajaran agama).
Menurut kondisi dan situasi daerah Tondok Lepongan
Bulan dibagi atas tiga daerah Lesoan Aluk. Masing-masing dijelaskan dengan
memakai patokan aturan dan dasar pemujaan serta penyembahan yang tertinggi
dalam Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang dinamakan Tananan Bua’/ Upacara Bua’.
Tananan Bua’ merupakan suatu upacara yang paling tinggi dalam Aluk
Todolo. Masing-masing daerah memiliki jumlah kurban persembahan yang
berbeda-beda, yaitu:
1.
Bagian timur dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong
Sangayoka (Pemala: persembahan, tedong : kerbau, sangayoka : sepasang / 2 ekor)
artinya upacara pemujaan tertinggi dengan kurban 2 ekor kerbau
2.
Bagian tengah dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ (sereala’: 24
ekor) artinya pemujaan tertinggi dengan 24 ekor kerbau
3.
Bagian barat dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong
Sangbua Bannang (sangbua bannang: seekor) artinya pemujaan tertinggi dengan
kurban satu ekor kerbau.
Terbagi tiganya dasar Lesoan Aluk dalam pelaksanaan
upacara pemujaan dan persembahan yang tertinggi inilah yang menjadi dasar
penyebab terbaginya daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini dalam
tiga daerah adat besar di kemudian hari.
Dari masing-masing daerah yang sudah terbagi 3 dalam
dasar Lesoan Aluk, masing-masing mulai berkembang mengikuti pembagian dari
dasar Lesoan Aluk itu. Hal ini pulalah yang menyebabkan terbaginya daerah
Tondok Lepongan Bulan dalam penggunaan 3 gelar yang berbeda untuk penguasanya.
Masing-masing daerah adat menggunakan gelar sesuai dengan gelar yang telah ada
di masyarakat, dengan tetap memegang teguh Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang
berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Nama gelar untuk
masing-masing penguasa di ketiga daerah adat tersebut adalah :
1.
Bagian
timur bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sangayoka ini
merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Ambe’i (padang: daerah, di Ambe’i : bergelar Ambe’) dan
dinamakan pula daerah adat Pekamberan dengan penguasa adat bergelar Ambe’/ Siambe’ dan Siambe’ Pong.
2. Bagian tengah bergelar Puang
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan
Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ ini
merupakan daerah adat tersendiri yang dinamakan Padang di Puangngi (padang: daerah, di Puangngi : bergelar Puang)
dan dinamakan pula daerah adat Kapuangan dengan
penguasa adatnya bergelar Puang.
3. Bagian barat bergelar Ma’dika
Daerah dengan dasar Lesoan Aluk Kapemalaran Tananan
Bua’ Pemala’ Tedong Sangbua Bannang ini merupakan daerah adat tersendiri yang
dinamakan Padang di Ma’dikai (padang:
daerah, di Ma’dikai: bergelar Ma’dika) dan dinamakan pula daerah adat Kama’dikaan dengan penguasa adatnya
bergelar Ma’dika.
Sejak anak-anak dan keturunan Tangdilino mulai
berkuasa dan memerintah, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo ini terbagi
dalam 3 daerah adat besar dengan masing-masing gelar penguasanya serta dasar
Lesoan Aluk Kapemalaran (pemujaan & persembahan) yang berbeda, namun tetap
bersatu dalam kesatuan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan ajaran
Aluk Sanda Pitunna/Aluk7777 dari Banua Puan di Marinding sebagai satu kesatuan
dengan susunan masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan dan
kegotong-royongan.
Sejak terbentuknya 3 daerah adat besar itu pula, maka sejak
saat itu tiap daerah adat berkembang sesuai dengan kondisi dan keadaan daerah
adat masing-masing. Dalam perkembangannya masing-masing memiliki tokoh adat dan
tokoh agama sebagai orang yang pertama menyebarkan dan menyusun aturan
pelaksanaan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 pada tiap daerah tersebut. Tiap daerah
adat berkembang dan dibina berdasarkan
aturan pelaksanaan dari tokoh adat dan tokoh agama tersebut. Tokoh adat dan
tokoh agama tersebut adalah :
1.
Siambe’
Pong Pasontik, berasal dari sebelah timur daerah adat Pekamberan (Padang di Ambe’i )
2.
Padang
Pabane, berasal dari bagian tengah daerah adat Kapuangan (Padang di Puangngi)
3.
Ma’dika
Tangdililing atau Pondan
Padang, berasal dari daerah adat Kama’dikaan (Padang di Ma’dikai )
Dalam sejarah Toraja, sejak zaman purba sampai abad ke-12
Tana Toraja telah mengalami tiga kali perubahan bentuk kekuasaan dan
pemerintahan dengan gelar yang berbeda
bagi masing-masing penguasanya karena mengikuti gelombang datangnya penguasa tersebut.
a
Penguasa yang pertama dengan gelar Ambe’ atau Siambe’ Pong, lahir dari
gelar Ambe’ Arroan dan Pong Pararrak, misalnya :
·
Siambe’ Pong Tiku
·
Siambe’ Pong Simpin
·
Siambe’ Pong Panimba
·
Siambe’ Pong Maramba’
·
Siambe’ Pong Palita, dll.
b
Penguasa yang kedua dengan gelar Puang, lahir dari gelar Puang Lembang (yang empunya perahu). Gelar
penguasa ini berasal dari Bambapuang, daerah Selatan Toraja. Nama setiap
penguasa tersebut digabungkan dengan nama Tongkonan tempat penguasa tersebut
berada atau dikuasainya, misalnya :
·
Puang ri Bintu
·
Puang ri Papan Sura’
·
Puang ri Supi’
·
Puang ri Barang
·
Puang ri Batu Borong, dll.
c
Penguasa yang ketiga dengan gelar Ma’dika, diciptakan oleh Tangdilino dari Banua Puan. Tangdilino
adalah seorang puang yang memerdekakan dirinya dari aturan dan kungkungan
puang. Kata Ma’dika ini kemungkinan besar berasal dari kata maradeka (maradeka : merdeka, bebas).
Gelar ini dipakai di daerah bagian barat Toraja. Dalam penggunaannya, gelar ini
selalu digabungkan dengan nama wilayah
kekuasaan dari penguasanya. Misalnya :
·
Ma’dika Simbuang
·
Ma’dika Mamasa
·
Ma’dika Ulusalu, dll.
Dengan terbagi tiganya daerah adat Toraja/Tondok
Lepongan Bulan berdasarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua Puan,
berarti tiap daerah adat tidak menguasai satu sama lainnya, tetapi tetap
merupakan satu kesatuan negeri yang bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo. Keadaan ini berlangsung sampai kedatangan penguasa baru dengan zaman tersendiri yang dikenal dengan Zaman Datangnya Tomanurun di Tondok
Lepongan Bulan, yaitu pada abad ke-13.
1.
Zaman
Datangnya Tomanurun di Tondok Lepongan Bulan
Sekitar
150 tahun setelah tersebarnya Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 di Tondok Lepongan
Bulan, datang pula gelombang penguasa yang tanpa pengikut. Dalam sejarah Toraja
dikenal dengan datangnya Tomanurun (to: orang, manurun: turun dari langit/ turunan
dewa). Jadi Tomanurun berarti keturunan dewa.
Kedatangan Tomanurun
merupakan ancaman kepada para penguasa Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 yang sudah
menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan, karena para Tomanurun tersebut lebih
cakap dan berwibawa dalam memimpin dan membina masyarakat. Masyarakat
menganggap mereka sebagai penguasa turunan dewa yang turun dari kayangan.
Dalam sejarah Toraja,
ada beberapa tempat di Toraja yang didatangi oleh Tomanurun. Tetapi Tomanurun yang
terkenal adalah :
a.
Tomanurun Manurun di Langi’ di Kesu’
b.
Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora’
c.
Tomanurun Mambio Langi’ di Kaero
Selain dari tomanurun
tersebut, masih ada beberapa tomanurun lainnya yang datang di Toraja, tetapi
tidak banyak dikenal karena dalam sejarah Toraja hanya mereka saja yang sejak
kedatangannya mempunyai susunan pemerintahan yang terbina terus menerus
sehingga banyak meninggalkan sejarah. Selain itu hanya ketiga tomanurun
tersebut yang dianggap turun dari langit sehingga memakai nama Langi’ di
belakang namanya.
Menurut sejarahnya,
tomanurun-tomanurun yang datang itu adalah orang-orang yang sangat pandai dan
cerdik. Dalam mendekatkan diri dengan masyarakat mereka sangat bijaksana.
Selain itu mereka juga mengajarkan masyarakat cara bercocok tanam dan beternak
yang baik, sehingga masyarakat menyebut mereka sebagai orang yang maha tahu dan
saleh. Hal ini dibuktikannya dengan bimbingannya kepada masyarakat untuk memuja
dan menyembah kepada sang pencipta yang
maha kuasa seperti yang telah diajarkan oleh ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk
7777, maka semua tomanurun itu digolongkan dalam golongan masyarakat yang disebut Tomatasak (to: orang; matasak: asli, mulia, sempurna). Ternyata
dikemudian hari setelah Patta Labantan,
putra Puang Lakipadada datang berkuasa di Toraja, ia bergelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja, karena seluruh penguasa turunan puang tomanurun dinamakan Tomatasak.
Ketiga tomanurun
tersebut di atas semuanya datang di daerah adat Kapuangan/ Padang di Puangngi. Sesuai
pembagian daerah adat dari Banua Puan di Marinding, dimana penguasanya bergelar
puang, maka tomanurun-tomanurun itu pun bergelar puang. Tetapi kedudukan mereka dianggap dan dipandang lebih
tinggi dari puang-puang yang telah ada, karena mereka dianggap sebagai
keturunan dewa dari kayangan.
Sejak itu terkenallah
puang-puang tomanurun sebagai penguasa yang tertinggi dalam masyarakat
sekaligus mengambil alih kekuasaan dari para puang yang telah ada. Maka
mulailah puang turunan tomanurun dan seluruh keturunannya memegang kekuasaan
adat sebagai pengganti para puang yang bukan tomanurun. Selain sebagai pemegang
kekuasaan, masyarakat juga menganggapnya setengah dewa dengan gelar Puang
Tomatasak yang oleh masyarakat disebut :
Tomamma’ balian, tomatindo bai tora, totang unranngi
arrak tang unpedailling gamara, totang di ola bobona, tang di lomban tingayona,
todikulambu mawa’, todirinding dotilangi’, tangna lambi’ peruso kalando, dst.
Artinya orang yang tidur nyenyak dalam kemuliaan tak
dapat diganggu serta tak dapat dihampiri karena tidak dapat diduga
keinginannya, dst.
Sejak puang-puang
Tomanurun merebut kekuasaan dari puang yang bukan Tomanurun, di daerah adat
Padang di Puangngi, mereka mulai menerapkan cara-cara pemerintahan baru yang
agak berbeda dengan pemerintahan dan susunan masyarakat yang telah ada
sebelumnya, yaitu berbeda dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 dari Banua
Puan. Cara-cara pemerintahan dari Puang Tomanurun itu disesuaikan dengan
keadaan dan kedudukan serta pandangan masyarakat kepada mereka sebagai seorang
penguasa keturunan dewa kayangan atau penguasa setengah dewa.
Terutama setelah Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ mulai menciptakan dan menyusun aturan baru atau aluk
baru untuk pembinaan kekuasaannya, yang dalam sejarah Toraja dikenal dengan
nama Aluk Sanda Saratu’ (aturan genap seratus/ aturan monarki). Sejak itu di
daerah adat Padang di Puangngi atau daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan
mulai disebarkan 2 macam ajaran dan aturan yaitu Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777
dan Aluk Sanda Saratu’ (saratu’: seratus). Aluk Sanda Saratu’ inilah yang baru
disusun oleh Puang Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai aturan di daerah adat
Padang di Puangngi, sehingga pada saat itu ada pendapat yang mengatakan bahwa
di daerah adat Padang di Puangngi
tersebar Aluk Sanda Karua/ Aluk 8888 (karua: delapan), yaitu Aluk Sanda
Pitunna/Aluk 7777 dan Aluk Sanda
Saratu’.
Dengan adanya penyebaran
Aluk Sanda Saratu’ di daerah adat Padang di Puangngi, maka daerah itu mengalami
banyak perubahan besar yang sangat menonjol. Cara-cara pelaksanaan
pemerintahannya berbeda dengan cara pemerintahan di dua daerah adat lainnya,
yaitu : daerah adat Padang di Ambe’i
(bagian timur) dan daerah adat Padang di Ma’dikai (bagian barat) yang
hanya melaksanakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Perubahan yang
terjadi dalam cara pemerintahan di daerah adat Padang di Puangngi ini adalah
menyangkut hubungan dan kedudukan penguasa adat Puang Tomanurun dengan
masyarakat yang dikuasainya. Lambat laun struktur pemerintahan dan susunan
masyarakatnya berubah, dari masyarakat yang berdasarkan kesatuan kekeluargaan
dan kegotong-royongan menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777, menjadi
suatu masyarakat dengan struktur pemerintahan dan kemasyarakatan yang
berdasarkan kesatuan yang monarkistis.
Selain puang-puang
tomanurun yang disebutkan di atas, masih ada pula beberapa tomanurun yang
datangnya tidak di daerah Padang di Puangngi, antara lain : Tomanurun di Rombe
Ao’, Tomanurun di Kabongian, Tomanurun di Sado’ko’, dll. Tetapi kesemuanya itu
tidak banyak diketahui sejarahnya. Hanya ketiga tomanurun tersebut di atas,
yaitu : Tomanurun Manurun di Langi’, Tomanurun Tamboro Langi’, dan Tomanurun
Mambio Langi’ yang mempunyai sejarah dan kekuasaan yang terbina sejak dulu
dengan susunan tertentu sampai sekarang.
Terbaginya
Daerah Adat Padang Di Puangngi
Puang Tomanurun Tamboro
Langi’ adalah puang tomanurun yang terakhir dari ketiga tomanurun yang terkenal
itu. Dia pulalah yang paling cakap dan paling disegani oleh masyarakat, karena
dialah yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’, suatu aturan pemerintahan yang
bersifat Monarkis Agama yang diterapkan dalam daerah adat Padang di Puangngi/
daerah bagian tengah Tondok Lepongan Bulan.
Puang Tomanurun Tamboro
Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ yang
telah disusunnya itu menyebarkan ajaran tersebut di seluruh daerah adat
Padang di Puangngi dengan dibantu oleh 4 orang putranya. Pada mulanya mereka
mendapat sambutan dari masyarakat, karena anggapan masyarakat, mereka adalah
pemerintah yang berasal dari keturunan dewa kayangan. Tetapi lama kelamaan
sambutan mereka menjadi berkurang karena sebagian anak-anaknya kurang meyakini
ajaran dengan aturan Monarkistis itu sebagai pengganti aturan dalam masyarakat
dan pemerintahan yang demokratis dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan
kegotong-royongan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777.
Daerah yang tidak dapat
melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah
utamanya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara (bagian tengah Tondok
Lepongan Bulan). Bagian utara Padang di
Puangngi adalah daerah Kesu’ dan sekitarnya. Mereka tetap hanya melaksanakan
Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sepenuhnya. Hanya setelah adanya Aluk Sanda
Saratu’, penyebutan gelar untuk ketua adat atau penguasa adat berubah. Mereka
tidak lagi memakai gelar Puang tetapi gelar Sokkong Bayu yang kedudukan dan
derajatnya tetap sama dengan gelar puang. Sokkong Bayu berasal dari kata
sokkong yang berarti kuduk dan bayu yang berarti baju; sokkong bayu adalah bagian dari baju yang
paling lekas kotor. Jadi dalam hal ini
Sokkong Bayu adalah orang yang
paling lekas merasa dalam semua masalah masyarakat ; artinya pemikul
beban terberat dalam masyarakat.
Berbeda dengan daerah
selatan dari Padang di Puangngi. Mereka tetap memakai gelar puang meskipun
melaksanakan 2 aturan, yaitu : Aluk Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda
Saratu’.
Dengan tersebarnya Aluk
Sanda Saratu’ di bagian selatan daerah adat Padang di Puangngi, maka bagian
utara memisahkan diri karena tidak dapat melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan
tetap melaksanakan aturan yang sesuai dengan pembagian yang pertama ada dalam
Banua Puan, yaitu sebagai daerah adat
dengan dasar Lesoan Aluk yang menggunakan kurban 24 ekor kerbau untuk Pemala
Tananan Bua’ (upacara yang tertinggi). Meskipun sejak tersebarnya Aluk Sanda
Saratu’ mereka melepaskan gelar Puang dan memakai gelar Sokkong Bayu, tetapi
sebagai dasar Lesoan Aluk Padang di Puangngi menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna/
Aluk 7777 dari Banuan Puan tetap berlaku untuk seluruh daerah adat Padang di
Puangngi, baik daerah bagian selatan maupun bagian utara / Kesu’ dan
sekitarnya.
Dalam perkembangan
masyarakat di daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi, yaitu Kesu’
dan sekitarnya kemudian termasuk dalam kelompok adat Balimbing Kalua’ sekarang ini sudah dikenal
dengan kelompok daerah adat yang
termasuk Padang di Ambe’i karena pembinaan masyarakat dan pemerintahannya sama
dengan daerah adat Padang di Ambe’i, yaitu menurut pembagian dari Banua Puan di
Marinding. Namun dasar Lesoan Aluk daerah adat Padang di Puangngi masih tetap
dilaksanakan, yaitu dengan Tananan Bua’
Pemala’ Tedong Sereala’ , yang pada daerah adat Padang di Ambe’i lainnya
hanya dengan Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sang Ayoka. Sejak
terpisahnya daerah adat Padang di Puangngi bagian utara tersebut, maka dengan
resmi terbentuklah daerah adat Padang di Puangngi yang menggunakan ajaran Aluk
Sanda Pitunna/ Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’ yang sampai sekarang ini
dikenal dengan kelompok adat Padang di Puangngi Tallu Lembangna (tallu:
tiga; lembangna : perahunya) dan kelompok adat Padang di Puangngi Tallu Batupapan ( tallu: tiga; batupapan:
pemerintahan sendiri).
Dengan terbentuknya
daerah adat Padang di Puangngi setelah kedatangan Aluk Sanda Saratu’, maka
pusat penyebaran dari Aluk Saanda Pitunna/Aluk 7777 beralih dari Banua Puan
Marinding ke Kesu’ dengan nama Panta’nakan Lolo (panta’nakan: pesemaian ; lolo:
muda, pertama,kuncup) karena dari Kesu’lah terus terbina dan tersusunnya aturan
kelengkapan dari Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777. Sedangkan Banua Puan di
marinding telah termasuk dalam daerah hukum Aluk Sanda Saratu’ atau ditaktis
oleh penguasa-penguasa Aluk Sanda Saratu’.
No comments:
Post a Comment