Sunday, March 1, 2015

The Culture of Toraja part3

1.       Sejarah Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Sudah diuraikan diatas bahwa hanya 3 orang tomanurun saja yang banyak dikenal dalam masyarakat dan sejarah Toraja, yaitu Puang Tomanurun Manurun di Langi’, Puang Tomanurun Mambio Langi’, dan Puang Tomanurun Tamboro Langi’. Tetapi dalam perkembangan sejarah puang-puang tomanurun sampai kepada keturunan-keturunannya, hanya Puang Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora saja yang banyak dikenal, baik sejarahnya sebagai puang tomanurun pencipta Aluk Sanda Saratu’ maupun sampai kepada keturunan-keturunannya banyak mempunyai sejarah serta banyak dikenal di luar daerah Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja.
Menurut sejarah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai Puang Tomanurun yang menciptakan Aluk Sanda Saratu’ dikenal juga dengan nama Puang Tosikambi’ Aluk Sanda Saratu’ (puang yang memelihara dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu’) . Dipuja sebagai seorang setengah dewa oleh pengikut-pengikutnya, terutama di daerah adat Padang di Puangngi (bagian selatan dari tengah Tana Toraja). Keturunannya pun mewarisi kekuasaan dan perlakuan demikian. Hal ini sangat nyata di daerah adat kelompok Tallu Lembangna. Jika seorang puang pewaris kekuasaan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ menghadiri upacara Rambu Tuka’ , suatu upacara pengucapan syukur dalam Aluk Todolo, mereka mendapat pelayanan dan perlakuan yang istimewa sebagai seorang setengah dewa.
Yang banyak menjadi aturan dan ketentuan yang diatur di dalam Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ adalah tentang bagaimana kedudukan puang tomanurun dan keturunannya dalam masyarakat, baik sebagai penguasa adat  maupun sebagai pemegang Aluk Sanda Saratu’. Sangat berbeda dengan daerah adat Padang di Ambe’I dan daerah adat Padang di Ma’dikai. Tetapi baik daerah adat Padang di Puangngi, Padang di Ambei’I, maupun daerah adat Padang di Ma’dikai tetap masih menjalankan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 sehingga merupakan  alat pemersatu dari seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo serta merupakan suatu titik tolak dari terbinanya kebudayaan Tana Toraja.
Dalam masyarakat Toraja sekarang ini, sangat nyata adanya perbedaan dalam pembinaan masyarakat antara daerah adat Kelompok  Kapuangan Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan dengan daerah adat Padang di Ambe’i  dan daerah adat Padang di Ma’dikai, dimana kedua daerah adat ini system kemasyarakatan dan pemerintahannya terbina secara kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan, tetapi di daerah adat Padang di Puangngi terbina secara kesatuan yang monarchistis agama.
Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang menyebarkan Aluk Sanda Saratu’ dari istana/Tongkonan Kandora’ mengawini seorang putri dari istana/Tongkonan Ullin Sapan Deata yang bernama Sandabilik dan darai perkawinan itu lahirlah 8 orang anak, yaitu: 4 orang putri dan 4 orang putra yang menjadi bakal pelanjut dari ajaran Aluk Sanda Saratu’. Keempat orang putrinya mendiami daerah bagian Barat  dari Tondok Lepongan Bulan yaitu daerah adat Kama’dikaan dan keempat orang putranya mendiami bagian Tengah dari Tondok Lepongan Bulan yaitu daerah adat Padang di Puangngi. Keempatnya bergelar Puang, masing-masing :
1.       Puang Mesok , menguasai daerah Tengah dan Timur daerah adat Padang  di Puangngi
2.       Puang Tumambuli Buntu, menguasai daerah Utara daerah adat Padang di Puangngi
3.       Puang Papai Langi’, menguasai daerah Barat  daerah adat Padang di Puangngi
4.       Puang Sanda Boro, menguasai daerah Selatan daerah adat Padang di Puangngi
Puang Sanda Boro yang menguasai daerah Selatan daerah adat Padang di Puangngi (paling Selatan Toraja)  dengan istana/tongkonan yang bernama Batu Borong, mengawini  Datui Pattung atau Ao’ Gading, seorang anak puang dari bagian Selatan. Dari hasil perkawinannya ini melahirkan 2 orang anak, yaitu seorang putri bernama Puang Atemalolo dan seorang putra bernama Puang Lakipadada.
Setelah dewasa, Puang Lakipadada mengembara. Dalam mitos Lakipadada dikatakan pergi mencari hidup abadi dan terdampar atau tiba di daerah Gowa/Kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak dikenal siapa orangnya dan tidak diketahui dari mana datangnya. Tetapi karena keahlian dan kesaktian yang dimilikinya, maka Lakipadada diperlakukan sebagai seorang raja yang besar yang sebagian besar orang Gowa mengatakan bahwa anak raja yang tidak dikenal itu berasal dari Timur sehingga menyebut Lakipadada sebagai Tau Raya. Dalam bahasa Makassar, tau berarti orang dan raya berarti timur, dan menyebut pula tempat asalnya  dengan nama Tana Tau Raya. Hal ini juga merupakan salah satu sebab adanya nama Tana Toraja.
Menurut sejarah Toraja, Lakipadada mengawini seorang putri Raja Gowa yang bernama Karaeng Tata Lolo. Perkawinan mereka melahirkan 3 orang putra, yaitu:
1.       Patta La Bantan berkuasa di Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja  dengan gelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja;
2.       Pata La Merang berkuasa di Gowa  dengan gelar Somba ri Gowa;
3.       Patta La Bunga berkuasa di Luwu/ Wara’  dengan gelar Payung ri Luwu’ atau Payung ri Wara”.
Dalam sejarah Toraja, dari ketiga anak Puang Lakipadada inilah yang menguasai ketiga rumpun suku besar di Sulawesi-Selatan pada waktu itu. Dan ketiganya  dikenal sebagai Tallu Botto (tallu: 3, botto: puncak, penguasa) dari ketiga suku yang ada di Sulawesi-Selatan, yaitu: suku Makassar, suku Bugis dan suku Toraja.
Menurut sejarah Toraja, setelah dewasa Patta La Bantan menerima warisan kekuasaan dari ayahnya, Lakipadada,  dengan suatu tugas untuk melanjutkan peranan dari Tongkonan Kandora sebagai pusat Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dan sebagai pelanjut Aluk Sanda Saratu’.
Patta La Bantan berangkat  dengan membawa lambang kerajaannya, yaitu: bendera yang bernama Bate Manurun (bendera kekuasaan Tomanurun yang dibuat dari kain merah muda yang di atasnya bergambar burung Rajawali  dengan benang berwarna kuning emas) bersama dua bilah pedang, yang masing-masing bernama Dosso dan Maniang.
Menurut sejarah Toraja, Patta La Bantan diberikan pula semacam mata uang logam sebagai alat tukar menukar dalam kerajaannya yang dikenal  dengan nama Oang, yang sampai sekarang ini mata-mata Oang tersebut masih banyak disimpan oleh orang-orang Toraja sebagai benda perhiasan pusaka.
Pertama-tama Patta La Bantan merapat di pantai Bungi’ dekat muara sungai Sa’dan, kemudian menyusuri Sungai Sa’dan menuju Tondok Lepongan Bulan dan tiba pada perbatasan Batu Sapan Deata. Dari sana dia memulai perjalanannya mencari tempat untuk mengatur pemerintahannya, tapi karena daerah Sapan Deata itu bergunung-gunung dan berbatu-batu maka dia meneruskan perjalanannya ke sebelah timur. Tak lama kemudian tiba di suatu lembah yang agak luas dan berniat untuk membuat rumah di tempat itu. Lembah itu adalah kota Makale sekarang.
 Karena di pinggir lembah itu ada sebuah bukit, maka Patta La Bantan mendirikan rumah di atasnya. Bukit itu diberi nama Buntu Bungin, tempat Gereja Sion Makale, sebagai peringatan kepadanya ketika pertama kali mendarat di Pantai Bungin muara Sungai Sa’dan sewaktu hendak menuju ke Tondok Lepongan Bulan.
Dari sanalah dia mulai menanamkan pengaruhnya dan memulai pemerintahannya, tetapi mendapat tantangan dari penguasa-penguasa Puang yang telah berkuasa lebih dahulu  yang juga berasal dari keturunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’. Dalam keadaan belum mempunyai tempat untuk memulai kekuasaannya, Patta La Bantan bermukim ke bagian Utara dan sekaligus mengawini seorang putri Nononga, cucu Puang Manauk dari Kesu’ atau Putri Puang Lolon Datu dan Puang Malalun Sanda dari Istana/Tongkonan Nonongan yang telah membentuk pemerintahannya sendiri dengan memusatkannya pada Istana/Tongkonan Nonongan tersebut yang sampai sekarang ini bekas peninggalannya masih tetap dikenal.
Di Nonongan, Patta La Bantan membantu mertuanya membangun kekuasaan dan pemerintahan Nonongan, tetapi menurut sejarah Toraja dan  sejarah Nonongan, Patta La Bantan tidak pernah menguasai Nonongan. Hanya dikatakan bahwa istrinya itu bernama Puang Petimba Bulaan, yang adalah anak dari Puang Malalun Sanda dan Puang Lolon Datu dari Nonongan.
Menurut sejarah Toraja, Patta La Bantan tidak menetap tempat tinggalnya. Hal ini mungkin pula disebabkan karena tugas yang dibebankan oleh ayahnya, Lakipadada, kepadanya untuk berusaha menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan. Dan mungkin pula inilah yang menyebabkan mengapa Patta La Bantan menjadi Persengketaan di Tana Toraja, dimana sebenarnya pusat pemerintahannya? Ada yang mengatakan di Makale, ada yang mengatakan di Kaero, serta ada pula yang mengatakan di Saluputti. Hal itu kurang jelas, tetapi yang pasti ialah Patta La Bantan mengawini Putri Puang Petimba Bulaan dari istana/Tongkonan Nonongan dan melahirkan 2 orang putra, yaitu : Puang Pataang Langi’ dan Puang Menturino.
Puang Menturino kawin dengan Rangga Bulaan dan dari perkawinannya melahirkan pula 2 (dua) orang masing-masing : 
a.       Puang Panggalo-galo’ yang tetap tinggal di Nonongan
b.       Puang Timban Boro yang pergi ke Makale kemudian ke Kaero (Sangngalla’) dengan membawa seluruh Pusaka Patta Lan Bantan yaitu, Bendera Bata Manurun pedang Bosso dan Maniang untuk melanjutkan kekuasaan dari Patta Lan Bantan dan menyebarkan ajaran Aluk Sanda Saratu’ sebagai pelanjut dari Peranan Puang Tamboro Langi’.
Sejak itu terbinalah Kekuasaan Daerah Adat Padang di Puangngi dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ secara penuh yang berlaku di Daerah Kelompok Adat Tallu Lembangna dan daerah Adat Tallu Batupapan karena Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang termasuk daerah kelompok adat Balimbing Kalua’ tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’.
Puang Timban Boro di Kaero memusatkan Kekuasaannya di Tongkonan Kaero yaitu Tongkonan Puang Mambio Langi’ yang datang lebih duluan sedikit dari Puang Tamboro Langi’ dan dengan demikian cita-cita dari pada Patta Lan Bantan untuk menguasai dan mempersatukan seluruh daerah tidak berhasil karena anaknya dan cucunya sebagai pelanjut dan pemegang warisan kekuasaannya hanya dapat menguasai daerah adat Padang di Puangngi bagian selatan, yang penguasa-penguasanya bergelar Puang yaitu Daerah Kelompok Adat Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan, tetapi perikatan dan kesatuan dalam Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo tetap terbina bersama-sama dengan Daerah Adat Padang di Ambei dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai.
Sampai sekarang ini Lambang / bandera kekuasaan dari Patta La Bantan yaitu Bate Manurun dan Dosso serta Maniang tetap terpelihara dengan baik di Tongkonan Kaero sebagai salah pusat Pembinaan kekuasaan turunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ dan Kekuasaan dari Patta La Bantan.

2.       Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Aluk Sanda Saratu’ (agama dan aturan monarchi) seperti yang telah banyak diuraikan di atas bahwa adalah pula suatu Ajaran Agama dan Aturan yang tercipta di Tana Toraja oleh seseorang Puang Tomanurun yang namanya Puang Tamboro Langi’ pada sekitar permulaan abad ke 13.
Sudah dijelaskan di depan bahwa Aluk Sanda Saratu’ Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang Marinding oleh Tangdilino dan Pong Sulo Ara’ adalah aluk yang bersumber dari Sukaran Aluk yang masih dipegang teguh oleh Pong Sulo Ara’ dan sudah terpencar luas di seluruh Tondok Lepongan Bulan / Tana Toraja dan menjadi pegangan hidup seluruh Masyarakat Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang dikembangkan serta dibina dengan 3 (tiga) Dasar Lesoan Aluk pada masing-masing Daerah Adat besar yaitu Daerah Adat Padang di Ambe’i, Daerah Adat Padang di Puangngi dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai yang penyebarannya seluruhnya bernama Aluk Todolo karena aluk ini dianut oleh orang dulu-dulu (Todolo = orang yang dulu-dulu).
Setelah Puang Tomanurun Tamboro Langi’ datang di daerah Adat Padang di Puangngi dengan istana / Tongkonan Kandora menciptakan ajaran baru yang dinamakan Aluk Sanda Saratu’ yang disebarkan di Daerah Adat Padang di Puangngi dan merupakan tambahan dari Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang telah ada lebih dahulu, maka sering dikatakan oleh orang bahwa Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Aluk Sanda Karua / Aluk 8888 yaitu maksudnya Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan Aluk Sanda Saratu’.
Bahwa yang banyak diatur oleh Aluk Sanda Saratu’ adalah terutama yang berhubungan dengan aturan kedudukan Penguasa Adat Puang Tomanurun sebagai Pencipta Aluk Sanda Saratu’ yang telah mengambil alih kekuasaan dari Puang yang bukan turunan Tomanurun (Puang yang berasal dari Bamba Puang) karena Puang Tomanurun itu dianggap sebagai turunan Dewa kayangan, berarti yang mempunyai hubungan dengan kedudukannya dan peranannya sebagai Penguasa Adat dan sekaligus sebagai pemegang tampuk pimpinan Aluk terutama Aluk Sanda Saratu’ yang menempatkan Turunan Puang-Puang Tomanurun dimuliakan sebagai setengah Dewa namun tidak merobah nama dari Aluk Todolo sebagai nama yang menjadi nama dari Ajaran yang didasarkan atas aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang.
Inilah yang menjadi perbedaan yang menonjol diantara ketiga Daerah Adat besar di Tana Toraja yaitu Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu banyak merobah soal pergaulan masyarakat dan susunan pemerintahan yang sudah diletakkan oleh Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang berlaku sepenuhnya di Daerah Adat Padang di Ambe’i dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai dan perbedaan pokok itu adalah :
a         Perbedaan dari adanya perbedaan Dasar Lesoan Aluk berdasarkan pembahagian dan susunan yang bersumber dari Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
b        Perbedaan karena Daerah Adat Padang di Ambe’i dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai tidak melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang berdasarkan Mornachi Agama.
Setelah Aluk Sanda Saratu’ mulai berkembang dengan baik di daerah Adat Padang di Puangngi ada dari daerah Adat Padang di Puangngi yang tidak melaksanakan atau menerima ajaran Aluk Sanda Saratu’ yaitu daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi / Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang menyebabkan Daerah Adat Padang di Puangngi terbagi dua yaitu :
1.       Bagian Selatan Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ disamping melaksanakan pula ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
2.       Bagian Utara Daerah Adat Padang di Puangngi yaitu Kesu’ dan sekitarnya tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan tetap melaksanakan Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 sepenuhnya sama dengan Daerah Adat Padang di Ambe’i dan daerah Adat Padang di Ma’dikai.
Jadi dengan datangnya Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ maka susunan masyarakat di daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang mempergunakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ berobah dari dasar Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotongroyongan menjadi masyarakat yang berbentuk kesatuan yang monarchistis, sedang Daerah Adat yang tidak melaksanakan atau mempergunakan Aluk Sanda Saratu’ tetap dengan susunan masyarakat yang berbentuk Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotongroyongan sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
Karena Daerah Kesu’ dan sekitarnya yaitu bagian antara Daerah Adat Padang di Puangngi tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ seperti yang telah dikatakan di atas, maka daerah tersebut memisahkan dirinya dari Daerah Adat Padang di Puangngi dengan tetap masyarakatnya berbentuk Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotong-royongan dan dengan sendirinya tidak lagi memakai Gelar Puang untuk gelar Penguasa-Penguasa Adatnya maka mempergunakan Gelar Sokkong Bayu karena Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan tetap mempergunakan Gelar Puang, dan Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Utara yaitu Daerah Kesu’ dan sekitarnya masuk ke dalam Lesoan Aluk Kapemalaran yaitu dengan Dasar Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’ sebagai daerah Adat Padang di Puangngi dari Banua Puan sebelum datangnya Aluk Sanda Saratu’ tetap dipergunakan / berlaku dan Gelar Puang terus berlaku di Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang sekarang ini dikenal dengan Daerah Adat Kelompok Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan.

3.       Daerah dan Alam Toraja
Dalam sejarah terbentuknya Daerah Tondok Lepongan Bulan tersebut di atas ternyata bahwa Daerah Tondok Lepongan Bulan Tanah Matarik Allo / Tana Toraja itu adalah Daerah-daerah yang meliputi seluruh pegunungan / sebelah utara di Sulawesi Selatan yaitu Daerah yang didiami oleh Suku Toraja yang menurut Sejarah Tondok Lepongan Bulan itu meliputi, dengan batas-batas :
a         Sebelah Utara dengan batas Daerah Poso dan Donggala
b        Sebelah Timur dengan batas Kerajaan Luwu yaitu dataran pantai Teluk Bone yang termasuk daerah Kerajaan Luwu’ dan pada bagian pegunungan termasuk Daerah Lepongan Bulan.
c         Sebelah Selatan dengan batas Gunung Sinaji membujur ke sebelah Barat melalui Enrekang terus ke Mandar.
d        Sebelah Barat dengan batas dataran pantai Barat Sulawesi Selatan pada bagian pegunungannya dataran pantai termasuk Kabupaten Mamuju.
Daerah-daerah yang begitu luas itu seperti yang telah dikatakan di atas bahwa sejak dari dahulu dibina oleh 3 (tiga) rumpun Adat Toraja yang masih sangat jelas sampai sekarang ini, tetapi ketiga Daerah Adat itu bersatu dan merupakan suatu Kesatuan Sosiologis berdasarkan adanya satu suku dan satu sumber aluk dengan adat dan budaya yang berpijak pada aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan kesatuan itu dahulu dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, dan masing-masing Daerah Adat itu masih terdiri atas beberapa Kelompok Adat masing-masing :
1).   Daerah bagian Selatan dikuasai oleh Penguasa Adat yang bergelar Puang dengan daerah adatnya bernama Padang di Puangngi (daerah adat Kapuangan) yang pada waktu sekarang ini terdiri atas 2 (dua) kelompok adat yaitu :
a.       Kelompok Adat Tallu Batupapan dan Endekan
b.       Kelompok Adat Tallu Lembangna
2).   Daerah bagian Timur dan Utara dikuasai oleh penguasa Adat yang bergelar Siambe’ dalam jabatan Toparengnge’-Toparengnge’, Sokkong Bayu dengan Daerah Adatnya bernama Daerah Adat Padang di Ambe’i (Daerah Adat Pakamberan) yang terdiri atas 4 (empat) kelompok adat sekarang ini yaitu :
a).       Kelompok Adat Balimbing Kalua’
b).       Kelompok Adat Basse Sangtempe’
c).       Kelompok Adat Sa’dan dan Balusu
d).       Kelompok Seko dan Rongkong.
3).   Daerah bagian Barat dikuasai oleh penguasa adat yang bergelar Ma’dika dengan daerah adatnya bernama daerah Adat Padang di Ma’dikai yang terdiri atas 2 (dua) kelompok adat yang pada waktu sekarang ini yaitu :
a).       Kelompok adat Tokalambunan
b).       Kelompok adat Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga.

Bahwa terbentuknya atau terjadinya kelompok-kelompok adat dalam tiap-tiap Daerah Adat Besar tersebut di atas itu adalah disebabkan oleh adanya kesamaan kepentingan dalam pembinaan keluarga atas dorongan kesamaan penderitaan untuk membina kehidupan seterusnya, namun kelompok-kelompok itu dibina atau dikuasai oleh suatu Badan Musyawarah Adat namanya Kombongan Ada’ (kombongan musyawarah; Adat-adat) dan sekaligus sebagai penguasa / Pemerintah yang berdiri sendiri yang dijiwai oleh perasaan Kesatuan dan Kekeluargaan. 

No comments:

Post a Comment