1.
Sejarah
Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Sudah diuraikan diatas
bahwa hanya 3 orang tomanurun saja yang banyak dikenal dalam masyarakat dan
sejarah Toraja, yaitu Puang Tomanurun Manurun di Langi’, Puang Tomanurun Mambio
Langi’, dan Puang Tomanurun Tamboro Langi’. Tetapi dalam perkembangan sejarah
puang-puang tomanurun sampai kepada keturunan-keturunannya, hanya Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ di Kandora saja yang banyak dikenal, baik sejarahnya
sebagai puang tomanurun pencipta Aluk Sanda Saratu’ maupun sampai kepada
keturunan-keturunannya banyak mempunyai sejarah serta banyak dikenal di luar
daerah Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja.
Menurut sejarah Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ sebagai Puang Tomanurun yang menciptakan Aluk Sanda
Saratu’ dikenal juga dengan nama Puang Tosikambi’ Aluk Sanda Saratu’ (puang
yang memelihara dan menyebarkan Aluk Sanda Saratu’) . Dipuja sebagai seorang
setengah dewa oleh pengikut-pengikutnya, terutama di daerah adat Padang di
Puangngi (bagian selatan dari tengah Tana Toraja). Keturunannya pun mewarisi
kekuasaan dan perlakuan demikian. Hal ini sangat nyata di daerah adat kelompok
Tallu Lembangna. Jika seorang puang pewaris kekuasaan Puang Tomanurun Tamboro
Langi’ menghadiri upacara Rambu Tuka’ , suatu upacara pengucapan syukur dalam
Aluk Todolo, mereka mendapat pelayanan dan perlakuan yang istimewa sebagai
seorang setengah dewa.
Yang banyak menjadi
aturan dan ketentuan yang diatur di dalam Aluk Sanda Saratu’ dari Puang
Tomanurun Tamboro Langi’ adalah tentang bagaimana kedudukan puang tomanurun dan
keturunannya dalam masyarakat, baik sebagai penguasa adat maupun sebagai pemegang Aluk Sanda Saratu’.
Sangat berbeda dengan daerah adat Padang di Ambe’I dan daerah adat Padang di
Ma’dikai. Tetapi baik daerah adat Padang di Puangngi, Padang di Ambei’I, maupun
daerah adat Padang di Ma’dikai tetap masih menjalankan ajaran Aluk Sanda
Pitunna/Aluk 7777 sehingga merupakan
alat pemersatu dari seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo serta merupakan suatu titik tolak dari terbinanya kebudayaan Tana Toraja.
Dalam masyarakat Toraja
sekarang ini, sangat nyata adanya perbedaan dalam pembinaan masyarakat antara
daerah adat Kelompok Kapuangan Tallu
Lembangna dan Tallu Batupapan dengan daerah adat Padang di Ambe’i dan daerah adat Padang di Ma’dikai, dimana
kedua daerah adat ini system kemasyarakatan dan pemerintahannya terbina secara
kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan, tetapi di daerah adat Padang di
Puangngi terbina secara kesatuan yang monarchistis agama.
Puang Tomanurun Tamboro
Langi’ yang menyebarkan Aluk Sanda Saratu’ dari istana/Tongkonan Kandora’
mengawini seorang putri dari istana/Tongkonan Ullin Sapan Deata yang bernama
Sandabilik dan darai perkawinan itu lahirlah 8 orang anak, yaitu: 4 orang putri
dan 4 orang putra yang menjadi bakal pelanjut dari ajaran Aluk Sanda Saratu’.
Keempat orang putrinya mendiami daerah bagian Barat dari Tondok Lepongan Bulan yaitu daerah adat
Kama’dikaan dan keempat orang putranya mendiami bagian Tengah dari Tondok
Lepongan Bulan yaitu daerah adat Padang di Puangngi. Keempatnya bergelar Puang,
masing-masing :
1.
Puang Mesok , menguasai daerah Tengah dan Timur daerah
adat Padang di Puangngi
2.
Puang Tumambuli Buntu, menguasai daerah Utara daerah
adat Padang di Puangngi
3.
Puang Papai Langi’, menguasai daerah Barat daerah adat Padang di Puangngi
4.
Puang Sanda Boro, menguasai daerah Selatan daerah adat
Padang di Puangngi
Puang Sanda Boro
yang menguasai daerah Selatan daerah adat Padang di Puangngi (paling Selatan
Toraja) dengan istana/tongkonan yang
bernama Batu Borong, mengawini Datui
Pattung atau Ao’ Gading, seorang anak puang dari bagian Selatan.
Dari hasil perkawinannya ini melahirkan 2 orang anak, yaitu seorang putri
bernama Puang Atemalolo dan seorang putra bernama Puang Lakipadada.
Setelah dewasa, Puang
Lakipadada mengembara. Dalam mitos Lakipadada dikatakan pergi mencari hidup
abadi dan terdampar atau tiba di daerah Gowa/Kerajaan Gowa sebagai seorang yang
tidak dikenal siapa orangnya dan tidak diketahui dari mana datangnya. Tetapi
karena keahlian dan kesaktian yang dimilikinya, maka Lakipadada diperlakukan
sebagai seorang raja yang besar yang sebagian besar orang Gowa mengatakan bahwa
anak raja yang tidak dikenal itu berasal dari Timur sehingga menyebut
Lakipadada sebagai Tau Raya. Dalam bahasa Makassar, tau berarti orang
dan raya berarti timur, dan menyebut pula tempat asalnya dengan nama Tana Tau Raya. Hal ini
juga merupakan salah satu sebab adanya nama Tana Toraja.
Menurut sejarah Toraja,
Lakipadada mengawini seorang putri Raja Gowa yang bernama Karaeng Tata Lolo.
Perkawinan mereka melahirkan 3 orang putra, yaitu:
1.
Patta La Bantan berkuasa
di Tondok Lepongan Bulan/ Tana Toraja
dengan gelar Matasak ri Lepongan Bulan atau Matasak ri Toraja;
2.
Pata La Merang berkuasa
di Gowa dengan gelar Somba ri Gowa;
3.
Patta La Bunga berkuasa
di Luwu/ Wara’ dengan gelar Payung ri
Luwu’ atau Payung ri Wara”.
Dalam sejarah Toraja,
dari ketiga anak Puang Lakipadada inilah yang menguasai ketiga rumpun suku
besar di Sulawesi-Selatan pada waktu itu. Dan ketiganya dikenal sebagai Tallu Botto (tallu: 3,
botto: puncak, penguasa) dari ketiga suku yang ada di Sulawesi-Selatan, yaitu:
suku Makassar, suku Bugis dan suku Toraja.
Menurut sejarah Toraja,
setelah dewasa Patta La Bantan menerima warisan kekuasaan dari ayahnya,
Lakipadada, dengan suatu tugas untuk
melanjutkan peranan dari Tongkonan Kandora sebagai pusat Aluk Sanda Saratu’
dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dan sebagai pelanjut Aluk Sanda Saratu’.
Patta La Bantan
berangkat dengan membawa lambang
kerajaannya, yaitu: bendera yang bernama Bate Manurun (bendera kekuasaan
Tomanurun yang dibuat dari kain merah muda yang di atasnya bergambar burung
Rajawali dengan benang berwarna kuning
emas) bersama dua bilah pedang, yang masing-masing bernama Dosso dan Maniang.
Menurut sejarah Toraja,
Patta La Bantan diberikan pula semacam mata uang logam sebagai alat tukar
menukar dalam kerajaannya yang dikenal
dengan nama Oang, yang sampai sekarang ini mata-mata Oang tersebut masih
banyak disimpan oleh orang-orang Toraja sebagai benda perhiasan pusaka.
Pertama-tama Patta La
Bantan merapat di pantai Bungi’ dekat muara sungai Sa’dan, kemudian menyusuri Sungai
Sa’dan menuju Tondok Lepongan Bulan dan tiba pada perbatasan Batu Sapan
Deata. Dari sana dia memulai perjalanannya mencari tempat untuk mengatur
pemerintahannya, tapi karena daerah Sapan Deata itu bergunung-gunung dan
berbatu-batu maka dia meneruskan perjalanannya ke sebelah timur. Tak lama
kemudian tiba di suatu lembah yang agak luas dan berniat untuk membuat rumah di
tempat itu. Lembah itu adalah kota Makale sekarang.
Karena di pinggir lembah itu ada sebuah bukit,
maka Patta La Bantan mendirikan rumah di atasnya. Bukit itu diberi nama Buntu
Bungin, tempat Gereja Sion Makale, sebagai peringatan kepadanya ketika pertama
kali mendarat di Pantai Bungin muara Sungai Sa’dan sewaktu hendak menuju ke
Tondok Lepongan Bulan.
Dari sanalah dia mulai
menanamkan pengaruhnya dan memulai pemerintahannya, tetapi mendapat tantangan
dari penguasa-penguasa Puang yang telah berkuasa lebih dahulu yang juga berasal dari keturunan Puang
Tomanurun Tamboro Langi’. Dalam keadaan belum mempunyai tempat untuk memulai
kekuasaannya, Patta La Bantan bermukim ke bagian Utara dan sekaligus mengawini
seorang putri Nononga, cucu Puang Manauk dari Kesu’ atau Putri Puang Lolon Datu
dan Puang Malalun Sanda dari Istana/Tongkonan Nonongan yang telah membentuk
pemerintahannya sendiri dengan memusatkannya pada Istana/Tongkonan Nonongan
tersebut yang sampai sekarang ini bekas peninggalannya masih tetap dikenal.
Di Nonongan, Patta La
Bantan membantu mertuanya membangun kekuasaan dan pemerintahan Nonongan, tetapi
menurut sejarah Toraja dan sejarah
Nonongan, Patta La Bantan tidak pernah menguasai Nonongan. Hanya dikatakan
bahwa istrinya itu bernama Puang Petimba Bulaan, yang adalah anak dari Puang
Malalun Sanda dan Puang Lolon Datu dari Nonongan.
Menurut sejarah Toraja,
Patta La Bantan tidak menetap tempat tinggalnya. Hal ini mungkin pula
disebabkan karena tugas yang dibebankan oleh ayahnya, Lakipadada, kepadanya
untuk berusaha menguasai seluruh daerah Tondok Lepongan Bulan. Dan mungkin pula
inilah yang menyebabkan mengapa Patta La Bantan menjadi Persengketaan di Tana
Toraja, dimana sebenarnya pusat pemerintahannya? Ada yang mengatakan di Makale,
ada yang mengatakan di Kaero, serta ada pula yang mengatakan di Saluputti. Hal
itu kurang jelas, tetapi yang pasti ialah Patta La Bantan mengawini Putri Puang
Petimba Bulaan dari istana/Tongkonan Nonongan dan melahirkan 2 orang putra,
yaitu : Puang Pataang Langi’ dan Puang Menturino.
Puang Menturino kawin
dengan Rangga Bulaan dan dari perkawinannya melahirkan pula 2 (dua) orang
masing-masing :
a.
Puang Panggalo-galo’ yang tetap tinggal di Nonongan
b.
Puang Timban Boro yang pergi ke Makale kemudian ke
Kaero (Sangngalla’) dengan membawa seluruh Pusaka Patta Lan Bantan yaitu,
Bendera Bata Manurun pedang Bosso dan Maniang untuk melanjutkan kekuasaan dari
Patta Lan Bantan dan menyebarkan ajaran Aluk Sanda Saratu’ sebagai pelanjut
dari Peranan Puang Tamboro Langi’.
Sejak itu terbinalah
Kekuasaan Daerah Adat Padang di Puangngi dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’
secara penuh yang berlaku di Daerah Kelompok Adat Tallu Lembangna dan daerah
Adat Tallu Batupapan karena Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang termasuk daerah
kelompok adat Balimbing Kalua’ tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’.
Puang Timban Boro di
Kaero memusatkan Kekuasaannya di Tongkonan Kaero yaitu Tongkonan Puang Mambio
Langi’ yang datang lebih duluan sedikit dari Puang Tamboro Langi’ dan dengan
demikian cita-cita dari pada Patta Lan Bantan untuk menguasai dan mempersatukan
seluruh daerah tidak berhasil karena anaknya dan cucunya sebagai pelanjut dan
pemegang warisan kekuasaannya hanya dapat menguasai daerah adat Padang di
Puangngi bagian selatan, yang penguasa-penguasanya bergelar Puang yaitu Daerah
Kelompok Adat Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan, tetapi perikatan dan
kesatuan dalam Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo tetap terbina
bersama-sama dengan Daerah Adat Padang di Ambei dan Daerah Adat Padang di
Ma’dikai.
Sampai sekarang ini
Lambang / bandera kekuasaan dari Patta La Bantan yaitu Bate Manurun dan Dosso
serta Maniang tetap terpelihara dengan baik di Tongkonan Kaero sebagai salah
pusat Pembinaan kekuasaan turunan Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan Ajaran
Aluk Sanda Saratu’ dan Kekuasaan dari Patta La Bantan.
2.
Aluk Sanda
Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’
Aluk Sanda Saratu’
(agama dan aturan monarchi) seperti yang telah banyak diuraikan di atas bahwa
adalah pula suatu Ajaran Agama dan Aturan yang tercipta di Tana Toraja oleh
seseorang Puang Tomanurun yang namanya Puang Tamboro Langi’ pada sekitar
permulaan abad ke 13.
Sudah dijelaskan di
depan bahwa Aluk Sanda Saratu’ Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang Marinding
oleh Tangdilino dan Pong Sulo Ara’ adalah aluk yang bersumber dari Sukaran Aluk
yang masih dipegang teguh oleh Pong Sulo Ara’ dan sudah terpencar luas di
seluruh Tondok Lepongan Bulan / Tana Toraja dan menjadi pegangan hidup seluruh
Masyarakat Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang dikembangkan serta
dibina dengan 3 (tiga) Dasar Lesoan Aluk pada masing-masing Daerah Adat besar
yaitu Daerah Adat Padang di Ambe’i, Daerah Adat Padang di Puangngi dan Daerah
Adat Padang di Ma’dikai yang penyebarannya seluruhnya bernama Aluk Todolo
karena aluk ini dianut oleh orang dulu-dulu (Todolo = orang yang dulu-dulu).
Setelah Puang Tomanurun
Tamboro Langi’ datang di daerah Adat Padang di Puangngi dengan istana /
Tongkonan Kandora menciptakan ajaran baru yang dinamakan Aluk Sanda Saratu’
yang disebarkan di Daerah Adat Padang di Puangngi dan merupakan tambahan dari
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang telah ada lebih dahulu, maka sering dikatakan
oleh orang bahwa Daerah Adat Padang di Puangngi melaksanakan Aluk Sanda Karua /
Aluk 8888 yaitu maksudnya Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan Aluk Sanda
Saratu’.
Bahwa yang banyak diatur
oleh Aluk Sanda Saratu’ adalah terutama yang berhubungan dengan aturan
kedudukan Penguasa Adat Puang Tomanurun sebagai Pencipta Aluk Sanda Saratu’
yang telah mengambil alih kekuasaan dari Puang yang bukan turunan Tomanurun
(Puang yang berasal dari Bamba Puang) karena Puang Tomanurun itu dianggap
sebagai turunan Dewa kayangan, berarti yang mempunyai hubungan dengan
kedudukannya dan peranannya sebagai Penguasa Adat dan sekaligus sebagai
pemegang tampuk pimpinan Aluk terutama Aluk Sanda Saratu’ yang menempatkan
Turunan Puang-Puang Tomanurun dimuliakan sebagai setengah Dewa namun tidak
merobah nama dari Aluk Todolo sebagai nama yang menjadi nama dari Ajaran yang
didasarkan atas aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dari Banua Puang.
Inilah yang menjadi
perbedaan yang menonjol diantara ketiga Daerah Adat besar di Tana Toraja yaitu Daerah
Adat Padang di Puangngi melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu banyak merobah
soal pergaulan masyarakat dan susunan pemerintahan yang sudah diletakkan oleh
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang berlaku sepenuhnya di Daerah Adat Padang di
Ambe’i dan Daerah Adat Padang di Ma’dikai dan perbedaan pokok itu adalah :
a
Perbedaan dari adanya perbedaan Dasar Lesoan Aluk
berdasarkan pembahagian dan susunan yang bersumber dari Aluk Sanda Pitunna /
Aluk 7777.
b
Perbedaan karena Daerah Adat Padang di Ambe’i dan
Daerah Adat Padang di Ma’dikai tidak melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’
dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ yang berdasarkan Mornachi Agama.
Setelah Aluk Sanda
Saratu’ mulai berkembang dengan baik di daerah Adat Padang di Puangngi ada dari
daerah Adat Padang di Puangngi yang tidak melaksanakan atau menerima ajaran
Aluk Sanda Saratu’ yaitu daerah bagian utara daerah adat Padang di Puangngi /
Daerah Kesu’ dan sekitarnya yang menyebabkan Daerah Adat Padang di Puangngi
terbagi dua yaitu :
1.
Bagian Selatan Daerah Adat Padang di Puangngi
melaksanakan Ajaran Aluk Sanda Saratu’ disamping melaksanakan pula ajaran Aluk
Sanda Pitunna / Aluk 7777.
2.
Bagian Utara Daerah Adat Padang di Puangngi yaitu
Kesu’ dan sekitarnya tidak melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ dan tetap melaksanakan
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 sepenuhnya sama dengan Daerah Adat Padang di
Ambe’i dan daerah Adat Padang di Ma’dikai.
Jadi dengan datangnya
Puang Tomanurun Tamboro Langi’ dengan ajaran Aluk Sanda Saratu’ maka susunan
masyarakat di daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang mempergunakan
Ajaran Aluk Sanda Saratu’ berobah dari dasar Kesatuan Kekeluargaan dan
Kegotongroyongan menjadi masyarakat yang berbentuk kesatuan yang monarchistis,
sedang Daerah Adat yang tidak melaksanakan atau mempergunakan Aluk Sanda
Saratu’ tetap dengan susunan masyarakat yang berbentuk Kesatuan Kekeluargaan
dan Kegotongroyongan sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777.
Karena Daerah Kesu’ dan
sekitarnya yaitu bagian antara Daerah Adat Padang di Puangngi tidak
melaksanakan Aluk Sanda Saratu’ seperti yang telah dikatakan di atas, maka
daerah tersebut memisahkan dirinya dari Daerah Adat Padang di Puangngi dengan
tetap masyarakatnya berbentuk Kesatuan Kekeluargaan dan Kegotong-royongan dan
dengan sendirinya tidak lagi memakai Gelar Puang untuk gelar Penguasa-Penguasa
Adatnya maka mempergunakan Gelar Sokkong Bayu karena Daerah Adat Padang di
Puangngi bagian Selatan tetap mempergunakan Gelar Puang, dan Daerah Adat Padang
di Puangngi bagian Utara yaitu Daerah Kesu’ dan sekitarnya masuk ke dalam
Lesoan Aluk Kapemalaran yaitu dengan Dasar Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala’
sebagai daerah Adat Padang di Puangngi dari Banua Puan sebelum datangnya Aluk
Sanda Saratu’ tetap dipergunakan / berlaku dan Gelar Puang terus berlaku di
Daerah Adat Padang di Puangngi bagian Selatan yang sekarang ini dikenal dengan
Daerah Adat Kelompok Tallu Lembangna dan Tallu Batupapan.
3.
Daerah dan
Alam Toraja
Dalam sejarah
terbentuknya Daerah Tondok Lepongan Bulan tersebut di atas ternyata bahwa
Daerah Tondok Lepongan Bulan Tanah Matarik Allo / Tana Toraja itu adalah
Daerah-daerah yang meliputi seluruh pegunungan / sebelah utara di Sulawesi
Selatan yaitu Daerah yang didiami oleh Suku Toraja yang menurut Sejarah Tondok
Lepongan Bulan itu meliputi, dengan batas-batas :
a
Sebelah Utara dengan batas Daerah Poso dan Donggala
b
Sebelah Timur dengan batas Kerajaan Luwu yaitu dataran
pantai Teluk Bone yang termasuk daerah Kerajaan Luwu’ dan pada bagian
pegunungan termasuk Daerah Lepongan Bulan.
c
Sebelah Selatan dengan batas Gunung Sinaji membujur ke
sebelah Barat melalui Enrekang terus ke Mandar.
d
Sebelah Barat dengan batas dataran pantai Barat
Sulawesi Selatan pada bagian pegunungannya dataran pantai termasuk Kabupaten
Mamuju.
Daerah-daerah yang
begitu luas itu seperti yang telah dikatakan di atas bahwa sejak dari dahulu
dibina oleh 3 (tiga) rumpun Adat Toraja yang masih sangat jelas sampai sekarang
ini, tetapi ketiga Daerah Adat itu bersatu dan merupakan suatu Kesatuan
Sosiologis berdasarkan adanya satu suku dan satu sumber aluk dengan adat dan
budaya yang berpijak pada aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 dan kesatuan itu
dahulu dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, dan masing-masing
Daerah Adat itu masih terdiri atas beberapa Kelompok Adat masing-masing :
1).
Daerah bagian Selatan dikuasai oleh Penguasa Adat yang
bergelar Puang dengan daerah adatnya bernama Padang di Puangngi (daerah adat
Kapuangan) yang pada waktu sekarang ini terdiri atas 2 (dua) kelompok adat
yaitu :
a.
Kelompok Adat Tallu Batupapan dan Endekan
b.
Kelompok Adat Tallu Lembangna
2).
Daerah bagian Timur dan Utara dikuasai oleh penguasa
Adat yang bergelar Siambe’ dalam jabatan Toparengnge’-Toparengnge’, Sokkong
Bayu dengan Daerah Adatnya bernama Daerah Adat Padang di Ambe’i (Daerah Adat
Pakamberan) yang terdiri atas 4 (empat) kelompok adat sekarang ini yaitu :
a). Kelompok
Adat Balimbing Kalua’
b). Kelompok
Adat Basse Sangtempe’
c). Kelompok
Adat Sa’dan dan Balusu
d). Kelompok
Seko dan Rongkong.
3).
Daerah bagian Barat dikuasai oleh penguasa adat yang
bergelar Ma’dika dengan daerah adatnya bernama daerah Adat Padang di Ma’dikai
yang terdiri atas 2 (dua) kelompok adat yang pada waktu sekarang ini yaitu :
a). Kelompok
adat Tokalambunan
b). Kelompok
adat Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga.
Bahwa terbentuknya atau
terjadinya kelompok-kelompok adat dalam tiap-tiap Daerah Adat Besar tersebut di
atas itu adalah disebabkan oleh adanya kesamaan kepentingan dalam pembinaan
keluarga atas dorongan kesamaan penderitaan untuk membina kehidupan seterusnya,
namun kelompok-kelompok itu dibina atau dikuasai oleh suatu Badan Musyawarah
Adat namanya Kombongan Ada’ (kombongan musyawarah; Adat-adat) dan sekaligus
sebagai penguasa / Pemerintah yang berdiri sendiri yang dijiwai oleh perasaan
Kesatuan dan Kekeluargaan.