Sunday, March 1, 2015

The Culture of Toraja part1

NAMA & SEJARAH SINGKAT TORAJA

A.        Nama Toraja

Sebelum kata Toraja dipergunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang ini dinamakan Tana Toraja, pada mulanya negeri itu adalah suatu negeri yang berdiri sendiri yang dikenal  dengan nama Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo. Tondok artinya negeri; lepongan artinya kebulatan, kesatuan; bulan artinya bulan; matarik artinya bentuk; allo artinya matahari. Jadi Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo artinya negeri yang bentuk pemerintahan dan masyarakatnya adalah sebagai suatu kesatuan yang bulat bagaikan bentuk bulan dan matahari.
Nama Lepongan Bulan atau Matarik Allo tersebut bersumber dari terbentuknya negeri itu dalam suatu kebulatan dan kesatuan tata masyarakat yang terjadi berdasarkan :
1.       Suatu negeri yang dibentuk atas adanya persekutuan kebulatan berdasarkan atas suatu kepercayaan/keyakinan masyarakat Toraja  dahulu kala. Kepercayaan ini dikenal  dengan nama Aluk Todolo, yang menggunakan suatu aturan yang bersumber dari suatu sumber yaitu Negeri Marinding Banua Puan yang dikenal  dengan Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777 / Aturan 7777).
2.       Suatu negeri yang dibentuk oleh beberapa daerah adat  tetapi menggunakan suatu dasar adat dan budaya yang terpancar/bersumber dari satu sumber bagaikan pancaran atau sinar bulan dan matahari.
3.       Suatu kesatuan negeri yang terletak pada bagian utara pegunungan di Sulawesi-Selatan yang dibentuk oleh suatu suku yang sekarang ini dikenal  dengan nama suku Toraja.
Nama Toraja mulai terdengar sejak lancarnya hubungan Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo  dengan negeri-negeri Bugis dan negeri di luar Tondok Lepongan Bulan.
Penulis Eropa, Y. Kruit dan A. Adriani menggunakan nama Toraja yang disadur dari pendapat budayawan dan sejarawan Bugis yaitu dari kata To Riaja. To artinya orang dan Riaja artinya di atas. Jadi kata To Riaja artinya orang yang berdiam di atas pegunungan bagian utara, karena letak dari Tondok Lepongan Bulan adalah bagian atas sebelah utara dari salah satu kerajaan Bugis, yaitu Bugis Sidenreng. To Riaja adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Bugis Sidenreng dahulu kala.
Nama Toraja ini sebenarnya mulai tersebar luas pada permulaan abad ke-17, yaitu pada saat Tondok Lepongan Bulan mulai mengadakan hubungan  dengan kerajaan di sekitarnya, a.l : kerajaan Bugis Sidenreng, kerajaan Bugis Bone dan kerajaan Bugis Luwu.
Selain dari nama yang berasal dari kata To Riaja tersebut, ada beberapa budayawan Toraja yang mengatakan bahwa kata Toraja itu berasal dari kata To Rajang yang berasal dari bahasa Luwu yang artinya orang dari barat (to : orang, rajang : barat) karena kerajaan Luwu itu terletak di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan dan Tondok Lepongan Bulan sendiri berada di sebelah barat Kerajaan Luwu.
Pendapat ini juga mengandung kebenaran karena di dalam mantera-mantera dan syair-syair Toraja banyak menyebut kerajaan Luwu sebagai kerajaan sebelah timur  dengan sebutan Kedatuan Mata Allo  (kedatuan: kerajaan, mata allo : timur) dan menyebut kerajaan Toraja  dengan sebutan Kedatuan Matampu (kedatuan : kerajaan, matampu : barat), yaitu kerajaan sebelah barat. Orang-orang Toraja disebut To Rajang oleh orang-orang Luwu dan orang-orang Luwu disebut To Wara’ (to : orang, wara’ : timur) oleh orang-orang Toraja. Sampai sekarang kerajaan Luwu dikenal juga  dengan  kerajaan Wara’ oleh orang-orang Toraja.
Selain pendapat di atas ada pula pendapat yang menghubungkan asal nama Toraja  dengan mitos Lakipadada. Lakipadada berasal dari Tondok Lepongan Bulan dan datang ke Gowa pada akhir abad ke-13. Dalam sejarah Toraja, Lakipadada adalah cucu dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ atau anak dari Puang Sanda Boro dari istana / Tongkonan Batu Borong, bagian selatan Tondok Lepongan Bulan, yang pergi mengembara. Dalam mithos Lakipadada diceritakan bahwa Lakipadada pergi mencari kehidupan yang abadi dan tiba di kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak diketahui dari mana asalnya serta tidak dikenal siapa orangnya. Hanya saja dia memiliki ciri seperti keturunan raja. Banyak tanda yang menunjukkan bahwa Lakipadada ini adalah seorang keturunan raja yang berasal dari suatu kerajaan besar.
Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa turunan raja yang tidak dikenal itu berasal dari sebelah Timur, sesuai  dengan mithos asal raja-raja di Sulawesi-Selatan. Karena itu mereka menyebut Lakipadada sebagai Tau Raya dan berhubung Lakipadada berasal dari Tondok Lepongan, maka Tondok Lepongan Bulan pun diberi nama Tana Tau Raya yang kemudian menjadi Tana Toraja.
Pendapat lain mengatakan pula bahwa sesuai  dengan pengakuan dari sebagian besar raja-raja di Sulawesi Selatan yang mengatakan dan mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja. Kata Toraja berasal dari To yang berarti orang dan raja yang berarti raja. Jadi Tana Toraja adalah tempat asal nenek moyang raja-raja dari Sulawesi-Selatan.
Berdasarkan pendapat dari sekian sumber lahirnya kata Toraja dan Tana Toraja, maka dapatlah dimengerti mengapa Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo dinamakan Toraja.

 

B.        Sejarah Singkat Toraja

1.       Zaman Purba Toraja
Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak tertulis tetapi hanya  sejarah yang dituturkan lewat mulut ke mulut bagi setiap turunan bangsawan serta pujangga Toraja. Dalam cerita, mereka selalu menghubungkan suatu masalah  dengan bukti-bukti dan fakta-fakta dari masalah tersebut. Karena itu dalam meneliti dan mempelajari serta menggali sejarah Toraja harus selalu meneliti sangkut paut tiap cerita dan fakta yang ada maka dapatlah ditemukan sejarah  tentang Toraja yang sebenarnya. Dalam hal ini masih diperlukan penelitian yang seksama oleh para sejarawan dan budayawan.
Dari sekian banyak sejarawan dan budayawan Toraja mengatakan bahwa penduduk yang pertama menguasai Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo adalah penduduk yang berasal dari suku bangsa di luar Sulawesi Selatan. Mereka diperkirakan datang  sekitar abad ke-6 dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai yang besar menuju  pegunungan di Sulawesi-Selatan termasuk daerah pegunungan di Tana Toraja. Sesuai  dengan fakta yang ada sebagian besar dari mereka datang dari daerah bagian selatan Toraja.
Mereka datang secara berkelompok yang dalam sejarah Toraja dikenal  dengan Arroan (kelompok manusia). Mereka menyusuri sungai dengan perahu dan setelah tak dapat lagi melayarkan perahunya, mereka menambatkan perahu-perahu mereka di tepi sungai dan tebing gunung pada sungai yang mereka lalui. Karena itu dalam sejarah Toraja dikenal adanya Banua Ditoke’ (banua: rumah, ditoke’: digantung) karena perahu itu dijadikan sebagai rumah tempat tinggal mereka. Kemudian para Arroan itu berjalan menuju ke tempat-tempat tinggi atau pegunungan dan menetap di sana.
Menurut sejarah Toraja tiap Arroan itu dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamakan Ambe’ Arroan (ambe’: bapak, arroan: kelompok manusia). Arroan itu datangnya tidak sekaligus tetapi secara berangsur-angsur. Kemudian masing-masing Arroan menempati masing-masing tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga mereka masing-masing dibawah pimpinan Ambe’ Arroan.
Lama kelamaan populasi anggota dari tiap Arroan itu bertambah banyak dan membutuhkan tempat tinggal yang lebih luas. Keluarga-keluarga Arroan itu berpencar  mencari tempat tinggal masing-masing dalam bentuk keluarga kecil yang dinamakan Pararrak (pararrak: pencaran penjelajah) yang dipimpin atau dikepalai oleh seorang kepala yang dinamakan Pong Pararrak ( pong : utama, pokok) artinya kepala penjelajah.
Inilah yang menyebabkan lahirnya gelar Ambe’ yang menjadi Siambe’ dan gelar Pong tersebar luas di Tana Toraja. Kemudian karena sumbernya satu, kedua gelar ini dipadukan menjadi nama penguasa adat yaitu Siambe’ Pong misalnya : Siambe’ Pong Simpin, Siambe’ Pong Maramba, Siambe’ Pong Tiku, Siambe’ Pong Palita, Siambe’ Pong Panimba, dll.
Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh pencaran atau penyebaran dari keluarga Arroan dan Pararrak, maka pada seluruh pelosok pegunungan dan dataran tinggi terdapat penguasa-penguasa kecil dari penguasa Ambe’ atau Pong yang perkembangannya sangat nyata di masyarakat Toraja di samping gelar penguasa-penguasa lainnya.
Setelah beberapa lama keadaan berjalan demikian, ternyata dimana-mana  terdapat Pong Pararrak yang lama kelamaan menjadi besar dan anggotanya bertambah banyak. Masing-masing berkuasa pada masing-masing tempat yang dikuasainya. Karena kelompok manusia yang kecil itu mempunyai pemerintahan sendiri seperti Arroan, maka dinamakan pula Pong Arroan.
Pada saat kekuasaan dari  para Ambe’ Arroan dan Pong Pararrak/ Pong Arroan berkembang, dari selatan datang pula penguasa baru dan pengikut-pengikutnya. Mereka juga melalui sungai-sungai yang besar serta menggunakan perahu. Penguasa baru ini dikenal dengan nama Puang Lembang (puang: yang empunya; lembang: perahu) artinya pemilik perahu. Kedatangan dari para penguasa lembang ini sangat jelas. Mereka mendatangi bagian paling selatan Toraja dan membentuk perkampungan sendiri. Jumlah mereka tidak terlalu banyak, hanya terdiri dari beberapa perahu saja.
Setelah tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena perahu mereka tidak dapat melayari sungai yang arusnya sangat deras dan berbatu-batu, maka sebagian dari mereka menambatkan perahunya. Tetapi ada pula sebagian yang membongkar perahunya dan membawa kerangkanya ke gunung tempat mereka tinggal dan dipasang kembali sebagai tempat tinggal bersama, karena pada saat itu belum ada tempat untuk bernaung. Dalam sejarah Toraja tempat perkampungan yang pertama dari para Puang Lembang adalah Bamba Puang (bamba artinya pangkalan/pusat).
Para penguasa yang baru datang itu memiliki tata masyarakat serta bentuk pemerintahan sendiri. Namun mereka masih dalam kelompok yang kecil di Bamba Puang. Lama kelamaan  para Puang Lembang ini tidak lagi menetap pada rumah mereka yang dari perahu itu. Mereka kemudian berpencar ke tempat-tempat yang tinggi atau pegunungan dan masing-masing menguasai daerah yang ditempatinya itu. Mereka tidak lagi disebut sebagai Puang Lembang atau yang empunya perahu tetapi sudah menjadi puang dari daerah yang ditempati dan dikuasainya. Artinya puang dari tempat dimana dia berada, misalnya :
a.       Puang ri Lembang artinya yang empunya perahu
b.       Puang ri Buntu  artinya yang empunya gunung yang ditempatinya
c.       Puang ri Tabang artinya yang empunya tempat yang bernama Tabang
d.       Puang ri Batu artinya yang empunya tempat yang berbatu-batu atau bernama Batu
e.       Puang ri Su’pi artinya yang empunya tempat bernama Su’pi , dll. 
Setelah para puang yang menguasai tiap tempat tertentu semakin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan dan pertentangan diantara mereka. Di bagian selatan daerah Bamba Puang. sebagian Puang mengambil kekuasaan Pong Pararrak/Pong Arroan yang telah berkuasa lebih dahulu. Hal ini menimbulkan pertentangan dan kekacauan di dalam masyarakat.  Ada diantara puang-puang itu yang membujuk para Pong Pararrak/Pong Arroan untuk bersatu dengan puang-puang tertentu melawan puang-puang lainnya. Akhirnya timbul persekutuan baru di kalangan puang maupun kalangan Pong Arroan/Pong Pararrak dan membentuk kesatuan yang besar yang dinamakan Bongga (besar, hebat, atau dahsyat).
Penguasa Bongga diangkat dari seorang kalangan puang yang kuat dan berani yang dinamai Puang Bongga, artinya yang empunya kekuasaan yang besar atau hebat. Dalam sejarah Toraja terkenal seorang Puang Bongga bernama Puang Bongga Erong. 
Pergeseran serta perubahan ini umumnya terjadi di sekitar bagian selatan daerah Bamba Puang. Seorang penguasa Bongga yang juga terkenal yaitu  Puang Londong di Rura yang mempunyai sejarah dan cerita besar di dalam masyarakat Toraja sebagai seorang penguasa yang lalim dan sangat keras hati serta kejam. Menurut cerita mendapat kutuk dari Puang Matua (Tuhan Allah).
Karena persaingan berlangsung terus menerus di kalangan puang-puang ini menyebabkan pengaruh dari puang di bagian selatan makin hari makin berkurang, terutama sejak adanya perpindahan dari beberapa orang puang ke bagian utara Bamba Puang untuk mencari tempat yang lebih aman melaksanakan pemerintahannya. Berbeda dengan penguasa-penguasa Ambe’ Arroan dan Pong Pararrak yang sudah berkuasa di beberapa daerah tertentu, tidak ada persaingan diantara penguasa tersebut karena masing-masing menguasai  daerah yang sudah ditempatinya.

2.       Zaman Kekuasaan To Banua Puan Tangdilino’   dan  Tersusunnya  Aluk  Sanda   Pitunna / Aluk 7777
Hampir seluruh daerah bagian selatan dalam keadaan kacau-balau. Hal ini mengakibatkan pengaruh dari para puang makin lama makin berkurang. Dalam keadaan yang sedang mengancam peranan para puang tersebut, maka seorang anak puang yaitu Puang ri Buntu bernama Tangdilino’ berpindah dari daerah bagian selatan ke daerah bagian utara, yaitu Marinding. Tangdilino’ berpindah ke tempat yang bernama Marinding tersebut sebagai penguasa baru.
Tangdilino’ telah mengetahui bahwa cara pemerintahan para puang di daerah selatan tidak lagi mendapat sambutan dari masyarakat, karena itu setelah di Marinding diubahnyalah cara tersebut. Disusunnyalah suatu cara pemerintahan baru dengan aturan dan cara  baru sekaligus menyatakan memerdekakan dirinya dari kungkungan dan kehidupan para puang.
Dari selatan Tangdilino’ memindahkan sebuah Tongkonan (istana) ke Marinding sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya. Menurut mithos, Tangdilino’ memindahkan tongkonan itu dengan tidak membongkarnya lebih dulu, tetapi hanya dengan mendorong tongkonan tersebut di atas rel kayu yang berguling. Dalam perjalanannya, tongkonan itu sering berhenti dan terantuk-antuk. Karena itu tongkonan tersebut dinamakan Ramba Titodo (ramba artinya dorong; titodo artinya terantuk). Setelah tiba di Marinding dibangun sebagai sebuah tongkonan atau istana yang diberi nama Banua Puan, artinya kekuasaan dan peranan puang yang dipindahkan, tetapi tidak lagi melaksanakan cara pemerintahan puang serta aturan dan gelar puang tidak dipergunakan lagi. Penguasa- penguasanya memakai nama Ma’dika atau bergelar Ma’dika.
Karena Tangdilino’ tidak lagi memakai aturan dan cara pemerintahan puang, maka Tangdilino’ menciptakan aturan dan cara pemerintahan dengan pedoman hidup baru dengan bantuan dari seorang ahli Sukaran Aluk bernama Pong Sulo Ara’ dari Sesean (bagian utara Toraja). Atas kerjasama dan ketekunannya maka terciptalah Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang bersumber dari sukaran aluk yang masih dikuasai oleh Pong Sulo Ara’ dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Berbeda dengan pemerintahan puang yang tidak mempergunakan falsafah hidup kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan tetapi kekuasaan yang diktator dan absolute seperti pemerintahan Puang Londong di Rura tersebut di atas.
Terciptanya Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 tersebut dikenal dalam sejarah Toraja  dengan : Pong Sulo Ara’ digente’ to untindok sesanna Mangsan unlala rakdakna malabu  artinya, Pong Sulo Ara’ mengambil hal-hal yang baik dari aturan yang sudah hancur untuk membina masyarakat yang masih ada, sebagai sisa dari kehancuran aturan dari Puang Londong di Rura.
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang disebarkan dari Banua Puan  Marinding itu didalamnya  mencakup aturan hidup dan kehidupan manusia serta aturan untuk memuliakan Puang Matua (Sang Pencipta), menyembah kepada Deata  & Tomembali Puang / Todolo (Deata : dewa-dewa; Tomembali Puang / Todolo : arwah leluhur).

Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777

Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 adalah suatu kepercayaan dan aturan yang berdasarkan ajaran Sukaran Aluk yang mengenal azas dan ajaran Aluk Tallu Oto’na (dasar kepercayaan dengan 3 falsafah) & aturan serta adat kehidupan dengan dasar falsafah Ada’  A’pa’  Oto’na (adat dengan 4 falsafah) yang sangat jelas didalam Sukaran Aluk dan perkembangan adat / aturan hidup masyarakat Toraja.
Dengan menggabungkan Aluk Tallu Oto’na  dengan Aluk  A’pa’  Oto’na menjadi jumlah Pitu (tujuh) berarti agama/ kepercayaan  dan adat / kebudayaan Toraja saling berhubungan dan saling isi mengisi  yang keduanya menggambarkan Aluk Todolo dan kebudayaan Toraja menjadi satu.
Kesatuan hukum yang disebut Aluk dalam masyarakat Toraja adalah kesatuan adat dan agama serta aturan masyarakat yang tak terhitung banyaknya, sehingga disebut Aluk Sanda Pitunna yang jika ditulis dengan angka menjadi Aluk 7777 atau Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu (seribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh).
Sanda Pitunna disebut dengan hanya mempergunakan batas satuan jumlah seribu (sangsa’bu) karena pada saat itu satuan jumlah paling besar yang dikenal masyarakat Toraja adalah sangsa’bu. Kemudian turun saratu’ (seratus), sangpulo (sepuluh), misa’ (satu). Karena dasar aluk adalah 7, maka disebut Aluk 7777. Yang dimaksud dalam jumlah aluk tersebut adalah jumlah yang tak terbatas atau terhitung banyaknya.
Dengan Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 tersebut, Tangdilino mengatur dan menyusun kekuasaannya dari istananya, Tongkonan Banua Puan di Marinding. Tangdilino mulai membentuk dan menentukan suatu satuan daerah yang dikuasainya yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo. Dalam penyebutannya, kedua nama tersebut sering digabung menjadi satu yaitu Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, karena merupakan satu kesatuan bulat yang hanya menggunakan satu aluk atau aturan yang dinamakan Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777. Aluk Ini menggunakan satu simbol lambang persatuan yaitu Barre Allo (barre : terbit, allo : matahari) yang artinya kekuasaan yang memancarkan aturan-aturan kehidupan manusia.
Seluruh daerah yang menggunakan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 juga menggunakan lambang Barre Allo. Maka daerah tersebut adalah daerah yang termasuk dalam kesatuan negeri Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo.
Dalam ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 sangat jelas dinyatakan bahwa aluk ini (agama & aturan hidup) adalah berasal dari Puang Matua (sang pencipta) yang diturunkan kepada nenek manusia yang pertama yaitu Datu Laukku’. Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh Pong Suloara’ dari Sesean yang disebut Sukaran Aluk (sukaran : susunan, ketentuan ; aluk : agama).
Tangdilino menikah dengan seorang putri Puang ri Tabang, sepupunya, yang bernama Buen Manik. Perkawinannya melahirkan 9 orang anak yang kelak menyebarkan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 serta melebarkan kekuasaan Tangdilino yang berpusat di Banua Puan Marinding. Kesembilan anaknya tersebut masing-masing berpencar ke tempat yang berbeda-beda, yaitu: 
-        Tele Bue ke daerah Duri
-        Kila’ ke daerah Bua Kayu
-        Bobong Langi’ ke daerah Mamasa
-        Parange ke daerah Buntao’
-        Pata’ba’ ke daerah Pantilang
-        Lanna’ ke daerah Sanggalla’
-        Sirrang ke daerah Dangle
-        Patabang  tetap tinggal di Banua Puan Marinding
-        Pabane ke daerah Kesu’

Kesembilan orang  anak Tangdilino tersebut diberi tugas dan kekuasaan oleh Tangdilino’ untuk menyebarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 serta diberi hak dan kekuasaan menguasai tiap-tiap tempat yang didatangi oleh mereka.
by. L.T. TANGDILINTIN

No comments:

Post a Comment