NAMA & SEJARAH SINGKAT TORAJA
A.
Nama
Toraja
Sebelum
kata Toraja dipergunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang ini dinamakan
Tana Toraja, pada mulanya negeri itu adalah suatu negeri yang berdiri sendiri
yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan
Bulan/Tana Matarik Allo. Tondok artinya negeri; lepongan artinya kebulatan,
kesatuan; bulan artinya bulan; matarik artinya bentuk; allo artinya matahari.
Jadi Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo artinya negeri yang bentuk
pemerintahan dan masyarakatnya adalah sebagai suatu kesatuan yang bulat
bagaikan bentuk bulan dan matahari.
Nama
Lepongan Bulan atau Matarik Allo tersebut bersumber dari terbentuknya negeri
itu dalam suatu kebulatan dan kesatuan tata masyarakat yang terjadi berdasarkan
:
1.
Suatu negeri yang dibentuk atas adanya persekutuan
kebulatan berdasarkan atas suatu kepercayaan/keyakinan masyarakat Toraja dahulu kala. Kepercayaan ini dikenal dengan nama Aluk Todolo, yang menggunakan
suatu aturan yang bersumber dari suatu sumber yaitu Negeri Marinding Banua Puan
yang dikenal dengan Aluk Sanda Pitunna
(Aluk 7777 / Aturan 7777).
2.
Suatu negeri yang dibentuk oleh beberapa daerah
adat tetapi menggunakan suatu dasar adat
dan budaya yang terpancar/bersumber dari satu sumber bagaikan pancaran atau
sinar bulan dan matahari.
3.
Suatu kesatuan negeri yang terletak pada bagian utara
pegunungan di Sulawesi-Selatan yang dibentuk oleh suatu suku yang sekarang ini
dikenal dengan nama suku Toraja.
Nama
Toraja mulai terdengar sejak lancarnya hubungan Tondok Lepongan Bulan/Tana
Matarik Allo dengan negeri-negeri Bugis
dan negeri di luar Tondok Lepongan Bulan.
Penulis
Eropa, Y. Kruit dan A. Adriani menggunakan nama Toraja yang disadur dari
pendapat budayawan dan sejarawan Bugis yaitu dari kata To Riaja. To artinya
orang dan Riaja artinya di atas. Jadi kata To Riaja artinya orang yang berdiam
di atas pegunungan bagian utara, karena letak dari Tondok Lepongan Bulan adalah
bagian atas sebelah utara dari salah satu kerajaan Bugis, yaitu Bugis
Sidenreng. To Riaja adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Bugis Sidenreng
dahulu kala.
Nama
Toraja ini sebenarnya mulai tersebar luas pada permulaan abad ke-17, yaitu pada
saat Tondok Lepongan Bulan mulai mengadakan hubungan dengan kerajaan di sekitarnya, a.l : kerajaan
Bugis Sidenreng, kerajaan Bugis Bone dan kerajaan Bugis Luwu.
Selain
dari nama yang berasal dari kata To Riaja tersebut, ada beberapa budayawan
Toraja yang mengatakan bahwa kata Toraja itu berasal dari kata To Rajang yang
berasal dari bahasa Luwu yang artinya orang dari barat (to : orang, rajang :
barat) karena kerajaan Luwu itu terletak di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan
dan Tondok Lepongan Bulan sendiri berada di sebelah barat Kerajaan Luwu.
Pendapat
ini juga mengandung kebenaran karena di dalam mantera-mantera dan syair-syair
Toraja banyak menyebut kerajaan Luwu sebagai kerajaan sebelah timur dengan sebutan Kedatuan Mata Allo (kedatuan: kerajaan, mata allo : timur) dan
menyebut kerajaan Toraja dengan sebutan
Kedatuan Matampu (kedatuan : kerajaan, matampu : barat), yaitu kerajaan sebelah
barat. Orang-orang Toraja disebut To Rajang oleh orang-orang Luwu dan
orang-orang Luwu disebut To Wara’ (to : orang, wara’ : timur) oleh orang-orang
Toraja. Sampai sekarang kerajaan Luwu dikenal juga dengan
kerajaan Wara’ oleh orang-orang Toraja.
Selain
pendapat di atas ada pula pendapat yang menghubungkan asal nama Toraja dengan mitos Lakipadada. Lakipadada berasal
dari Tondok Lepongan Bulan dan datang ke Gowa pada akhir abad ke-13. Dalam
sejarah Toraja, Lakipadada adalah cucu dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ atau
anak dari Puang Sanda Boro dari istana / Tongkonan Batu Borong, bagian selatan
Tondok Lepongan Bulan, yang pergi mengembara. Dalam mithos Lakipadada
diceritakan bahwa Lakipadada pergi mencari kehidupan yang abadi dan tiba di
kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak diketahui dari mana asalnya serta
tidak dikenal siapa orangnya. Hanya saja dia memiliki ciri seperti keturunan
raja. Banyak tanda yang menunjukkan bahwa Lakipadada ini adalah seorang
keturunan raja yang berasal dari suatu kerajaan besar.
Pendapat
umum di Gowa mengatakan bahwa turunan raja yang tidak dikenal itu berasal dari
sebelah Timur, sesuai dengan mithos asal
raja-raja di Sulawesi-Selatan. Karena itu mereka menyebut Lakipadada sebagai
Tau Raya dan berhubung Lakipadada berasal dari Tondok Lepongan, maka Tondok
Lepongan Bulan pun diberi nama Tana Tau
Raya yang kemudian menjadi Tana
Toraja.
Pendapat
lain mengatakan pula bahwa sesuai dengan
pengakuan dari sebagian besar raja-raja di Sulawesi Selatan yang mengatakan dan
mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja. Kata Toraja
berasal dari To yang berarti orang dan raja yang berarti raja.
Jadi Tana Toraja adalah tempat asal nenek moyang raja-raja dari
Sulawesi-Selatan.
Berdasarkan
pendapat dari sekian sumber lahirnya kata Toraja dan Tana Toraja, maka dapatlah
dimengerti mengapa Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik Allo dinamakan
Toraja.
B.
Sejarah
Singkat Toraja
1.
Zaman Purba
Toraja
Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak tertulis
tetapi hanya sejarah yang dituturkan
lewat mulut ke mulut bagi setiap turunan bangsawan serta pujangga Toraja. Dalam
cerita, mereka selalu menghubungkan suatu masalah dengan bukti-bukti dan fakta-fakta dari
masalah tersebut. Karena itu dalam meneliti dan mempelajari serta menggali
sejarah Toraja harus selalu meneliti sangkut paut tiap cerita dan fakta yang
ada maka dapatlah ditemukan sejarah
tentang Toraja yang sebenarnya. Dalam hal ini masih diperlukan
penelitian yang seksama oleh para sejarawan dan budayawan.
Dari sekian banyak sejarawan dan budayawan Toraja
mengatakan bahwa penduduk yang pertama menguasai Tondok Lepongan Bulan atau
Tana Matarik Allo adalah penduduk yang berasal dari suku bangsa di luar
Sulawesi Selatan. Mereka diperkirakan datang
sekitar abad ke-6 dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai yang
besar menuju pegunungan di
Sulawesi-Selatan termasuk daerah pegunungan di Tana Toraja. Sesuai dengan fakta yang ada sebagian besar dari
mereka datang dari daerah bagian selatan Toraja.
Mereka datang secara berkelompok yang dalam sejarah
Toraja dikenal dengan Arroan (kelompok
manusia). Mereka menyusuri sungai dengan perahu dan setelah tak dapat lagi
melayarkan perahunya, mereka menambatkan perahu-perahu mereka di tepi sungai
dan tebing gunung pada sungai yang mereka lalui. Karena itu dalam sejarah
Toraja dikenal adanya Banua Ditoke’ (banua: rumah, ditoke’: digantung) karena
perahu itu dijadikan sebagai rumah tempat tinggal mereka. Kemudian para Arroan
itu berjalan menuju ke tempat-tempat tinggi atau pegunungan dan menetap di
sana.
Menurut sejarah Toraja tiap Arroan itu dipimpin oleh
seorang pemimpin yang dinamakan Ambe’ Arroan (ambe’: bapak, arroan: kelompok
manusia). Arroan itu datangnya tidak sekaligus tetapi secara berangsur-angsur.
Kemudian masing-masing Arroan menempati masing-masing tempat tertentu untuk
menyusun persekutuan keluarga mereka masing-masing dibawah pimpinan Ambe’
Arroan.
Lama kelamaan populasi anggota dari tiap Arroan itu
bertambah banyak dan membutuhkan tempat tinggal yang lebih luas. Keluarga-keluarga
Arroan itu berpencar mencari tempat
tinggal masing-masing dalam bentuk keluarga kecil yang dinamakan Pararrak
(pararrak: pencaran penjelajah) yang dipimpin atau dikepalai oleh seorang
kepala yang dinamakan Pong Pararrak ( pong : utama, pokok) artinya kepala
penjelajah.
Inilah yang menyebabkan lahirnya gelar Ambe’ yang
menjadi Siambe’ dan gelar Pong tersebar luas di Tana Toraja. Kemudian karena
sumbernya satu, kedua gelar ini dipadukan menjadi nama penguasa adat yaitu
Siambe’ Pong misalnya : Siambe’ Pong Simpin, Siambe’ Pong Maramba, Siambe’ Pong
Tiku, Siambe’ Pong Palita, Siambe’ Pong Panimba, dll.
Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh
pencaran atau penyebaran dari keluarga Arroan dan Pararrak, maka pada seluruh
pelosok pegunungan dan dataran tinggi terdapat penguasa-penguasa kecil dari
penguasa Ambe’ atau Pong yang perkembangannya sangat nyata di masyarakat Toraja
di samping gelar penguasa-penguasa lainnya.
Setelah beberapa lama keadaan berjalan demikian,
ternyata dimana-mana terdapat Pong
Pararrak yang lama kelamaan menjadi besar dan anggotanya bertambah banyak.
Masing-masing berkuasa pada masing-masing tempat yang dikuasainya. Karena
kelompok manusia yang kecil itu mempunyai pemerintahan sendiri seperti Arroan,
maka dinamakan pula Pong Arroan.
Pada saat kekuasaan dari para Ambe’ Arroan dan Pong Pararrak/ Pong
Arroan berkembang, dari selatan datang pula penguasa baru dan
pengikut-pengikutnya. Mereka juga melalui sungai-sungai yang besar serta
menggunakan perahu. Penguasa baru ini dikenal dengan nama Puang Lembang (puang:
yang empunya; lembang: perahu) artinya pemilik perahu. Kedatangan dari para
penguasa lembang ini sangat jelas. Mereka mendatangi bagian paling selatan
Toraja dan membentuk perkampungan sendiri. Jumlah mereka tidak terlalu banyak,
hanya terdiri dari beberapa perahu saja.
Setelah tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena
perahu mereka tidak dapat melayari sungai yang arusnya sangat deras dan
berbatu-batu, maka sebagian dari mereka menambatkan perahunya. Tetapi ada pula
sebagian yang membongkar perahunya dan membawa kerangkanya ke gunung tempat
mereka tinggal dan dipasang kembali sebagai tempat tinggal bersama, karena pada
saat itu belum ada tempat untuk bernaung. Dalam sejarah Toraja tempat
perkampungan yang pertama dari para Puang Lembang adalah Bamba Puang (bamba
artinya pangkalan/pusat).
Para penguasa yang baru datang itu memiliki tata
masyarakat serta bentuk pemerintahan sendiri. Namun mereka masih dalam kelompok
yang kecil di Bamba Puang. Lama kelamaan
para Puang Lembang ini tidak lagi menetap pada rumah mereka yang dari
perahu itu. Mereka kemudian berpencar ke tempat-tempat yang tinggi atau
pegunungan dan masing-masing menguasai daerah yang ditempatinya itu. Mereka
tidak lagi disebut sebagai Puang Lembang atau yang empunya perahu tetapi sudah
menjadi puang dari daerah yang ditempati dan dikuasainya. Artinya puang dari
tempat dimana dia berada, misalnya :
a.
Puang ri Lembang artinya yang empunya perahu
b.
Puang ri Buntu
artinya yang empunya gunung yang ditempatinya
c.
Puang ri Tabang artinya yang empunya tempat yang
bernama Tabang
d.
Puang ri Batu artinya yang empunya tempat yang
berbatu-batu atau bernama Batu
e.
Puang ri Su’pi artinya yang empunya tempat bernama
Su’pi , dll.
Setelah para puang yang menguasai tiap tempat tertentu
semakin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan dan
pertentangan diantara mereka. Di bagian selatan daerah Bamba Puang. sebagian
Puang mengambil kekuasaan Pong Pararrak/Pong Arroan yang telah berkuasa lebih
dahulu. Hal ini menimbulkan pertentangan dan kekacauan di dalam
masyarakat. Ada diantara puang-puang itu
yang membujuk para Pong Pararrak/Pong Arroan untuk bersatu dengan puang-puang
tertentu melawan puang-puang lainnya. Akhirnya timbul persekutuan baru di
kalangan puang maupun kalangan Pong Arroan/Pong Pararrak dan membentuk kesatuan
yang besar yang dinamakan Bongga (besar, hebat, atau dahsyat).
Penguasa Bongga diangkat dari seorang kalangan puang
yang kuat dan berani yang dinamai Puang Bongga, artinya yang empunya kekuasaan
yang besar atau hebat. Dalam sejarah Toraja terkenal seorang Puang Bongga
bernama Puang Bongga Erong.
Pergeseran serta perubahan ini umumnya terjadi di
sekitar bagian selatan daerah Bamba Puang. Seorang penguasa Bongga yang juga
terkenal yaitu Puang Londong di Rura
yang mempunyai sejarah dan cerita besar di dalam masyarakat Toraja sebagai
seorang penguasa yang lalim dan sangat keras hati serta kejam. Menurut cerita
mendapat kutuk dari Puang Matua (Tuhan Allah).
Karena persaingan berlangsung terus menerus di kalangan
puang-puang ini menyebabkan pengaruh dari puang di bagian selatan makin hari
makin berkurang, terutama sejak adanya perpindahan dari beberapa orang puang ke
bagian utara Bamba Puang untuk mencari tempat yang lebih aman melaksanakan
pemerintahannya. Berbeda dengan penguasa-penguasa Ambe’ Arroan dan Pong
Pararrak yang sudah berkuasa di beberapa daerah tertentu, tidak ada persaingan
diantara penguasa tersebut karena masing-masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.
2.
Zaman
Kekuasaan To Banua Puan Tangdilino’
dan Tersusunnya Aluk
Sanda Pitunna / Aluk 7777
Hampir seluruh daerah bagian selatan dalam keadaan
kacau-balau. Hal ini mengakibatkan pengaruh dari para puang makin lama makin
berkurang. Dalam keadaan yang sedang mengancam peranan para puang tersebut,
maka seorang anak puang yaitu Puang ri Buntu bernama Tangdilino’ berpindah dari
daerah bagian selatan ke daerah bagian utara, yaitu Marinding. Tangdilino’
berpindah ke tempat yang bernama Marinding tersebut sebagai penguasa baru.
Tangdilino’ telah mengetahui bahwa cara pemerintahan
para puang di daerah selatan tidak lagi mendapat sambutan dari masyarakat,
karena itu setelah di Marinding diubahnyalah cara tersebut. Disusunnyalah suatu
cara pemerintahan baru dengan aturan dan cara
baru sekaligus menyatakan memerdekakan dirinya dari kungkungan dan
kehidupan para puang.
Dari selatan Tangdilino’ memindahkan sebuah Tongkonan
(istana) ke Marinding sebagai tempat untuk melaksanakan pemerintahannya.
Menurut mithos, Tangdilino’ memindahkan tongkonan itu dengan tidak
membongkarnya lebih dulu, tetapi hanya dengan mendorong tongkonan tersebut di
atas rel kayu yang berguling. Dalam perjalanannya, tongkonan itu sering
berhenti dan terantuk-antuk. Karena itu tongkonan tersebut dinamakan Ramba Titodo (ramba artinya dorong;
titodo artinya terantuk). Setelah tiba di Marinding dibangun sebagai sebuah
tongkonan atau istana yang diberi nama Banua
Puan, artinya kekuasaan dan peranan puang yang dipindahkan, tetapi tidak
lagi melaksanakan cara pemerintahan puang serta aturan dan gelar puang tidak
dipergunakan lagi. Penguasa- penguasanya memakai nama Ma’dika atau bergelar Ma’dika.
Karena Tangdilino’ tidak lagi memakai aturan dan cara
pemerintahan puang, maka Tangdilino’ menciptakan aturan dan cara pemerintahan
dengan pedoman hidup baru dengan bantuan dari seorang ahli Sukaran Aluk bernama
Pong Sulo Ara’ dari Sesean (bagian utara Toraja). Atas kerjasama dan
ketekunannya maka terciptalah Aluk Sanda
Pitunna / Aluk 7777 yang
bersumber dari sukaran aluk yang masih dikuasai oleh Pong Sulo Ara’ dengan
dasar kesatuan kekeluargaan dan kegotong-royongan. Berbeda dengan pemerintahan
puang yang tidak mempergunakan falsafah hidup kesatuan kekeluargaan dan
kegotong-royongan tetapi kekuasaan yang diktator dan absolute seperti pemerintahan
Puang Londong di Rura tersebut di atas.
Terciptanya Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 tersebut
dikenal dalam sejarah Toraja dengan :
Pong Sulo Ara’ digente’ to untindok sesanna Mangsan unlala rakdakna malabu artinya, Pong Sulo Ara’ mengambil hal-hal
yang baik dari aturan yang sudah hancur untuk membina masyarakat yang masih
ada, sebagai sisa dari kehancuran aturan dari Puang Londong di Rura.
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 yang disebarkan dari
Banua Puan Marinding itu didalamnya mencakup aturan hidup dan kehidupan manusia
serta aturan untuk memuliakan Puang Matua (Sang Pencipta), menyembah kepada
Deata & Tomembali Puang / Todolo
(Deata : dewa-dewa; Tomembali Puang / Todolo : arwah leluhur).
Aluk
Sanda Pitunna / Aluk 7777
Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 adalah suatu
kepercayaan dan aturan yang berdasarkan ajaran Sukaran Aluk yang mengenal azas
dan ajaran Aluk Tallu Oto’na (dasar kepercayaan dengan 3 falsafah) & aturan
serta adat kehidupan dengan dasar falsafah Ada’
A’pa’ Oto’na (adat dengan 4
falsafah) yang sangat jelas didalam Sukaran Aluk dan perkembangan adat / aturan
hidup masyarakat Toraja.
Dengan menggabungkan Aluk Tallu Oto’na dengan Aluk
A’pa’ Oto’na menjadi jumlah Pitu
(tujuh) berarti agama/ kepercayaan dan
adat / kebudayaan Toraja saling berhubungan dan saling isi mengisi yang keduanya menggambarkan Aluk Todolo dan
kebudayaan Toraja menjadi satu.
Kesatuan hukum yang disebut Aluk dalam masyarakat
Toraja adalah kesatuan adat dan agama serta aturan masyarakat yang tak
terhitung banyaknya, sehingga disebut Aluk Sanda Pitunna yang jika ditulis
dengan angka menjadi Aluk 7777 atau Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo
Pitu (seribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh).
Sanda Pitunna disebut dengan hanya mempergunakan batas
satuan jumlah seribu (sangsa’bu) karena pada saat itu satuan jumlah paling
besar yang dikenal masyarakat Toraja adalah sangsa’bu. Kemudian turun saratu’
(seratus), sangpulo (sepuluh), misa’ (satu). Karena dasar aluk adalah 7, maka
disebut Aluk 7777. Yang dimaksud dalam jumlah aluk tersebut adalah jumlah yang
tak terbatas atau terhitung banyaknya.
Dengan Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 tersebut,
Tangdilino mengatur dan menyusun kekuasaannya dari istananya, Tongkonan Banua
Puan di Marinding. Tangdilino mulai membentuk dan menentukan suatu satuan
daerah yang dikuasainya yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan atau Tana Matarik
Allo. Dalam penyebutannya, kedua nama tersebut sering digabung menjadi satu
yaitu Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, karena merupakan satu kesatuan
bulat yang hanya menggunakan satu aluk atau aturan yang dinamakan Aluk Sanda
Pitunna / Aluk 7777. Aluk Ini menggunakan satu simbol lambang persatuan yaitu
Barre Allo (barre : terbit, allo : matahari) yang artinya kekuasaan yang
memancarkan aturan-aturan kehidupan manusia.
Seluruh daerah yang menggunakan Aluk Sanda
Pitunna/Aluk 7777 juga menggunakan lambang Barre Allo. Maka daerah tersebut
adalah daerah yang termasuk dalam kesatuan negeri Tondok Lepongan Bulan Tana
Matarik Allo.
Dalam ajaran Aluk Sanda Pitunna / Aluk 7777 sangat
jelas dinyatakan bahwa aluk ini (agama & aturan hidup) adalah berasal dari
Puang Matua (sang pencipta) yang diturunkan kepada nenek manusia yang pertama
yaitu Datu Laukku’. Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh Pong Suloara’ dari Sesean yang disebut Sukaran Aluk (sukaran : susunan,
ketentuan ; aluk : agama).
Tangdilino menikah dengan seorang putri Puang ri
Tabang, sepupunya, yang bernama Buen Manik. Perkawinannya melahirkan 9 orang
anak yang kelak menyebarkan Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 serta melebarkan
kekuasaan Tangdilino yang berpusat di Banua Puan Marinding. Kesembilan anaknya
tersebut masing-masing berpencar ke tempat yang berbeda-beda, yaitu:
-
Tele Bue ke daerah Duri
-
Kila’ ke daerah Bua Kayu
-
Bobong Langi’ ke daerah Mamasa
-
Parange ke daerah Buntao’
-
Pata’ba’ ke daerah Pantilang
-
Lanna’ ke daerah Sanggalla’
-
Sirrang ke daerah Dangle
-
Patabang tetap
tinggal di Banua Puan Marinding
-
Pabane ke daerah Kesu’
Kesembilan orang
anak Tangdilino tersebut diberi tugas dan kekuasaan oleh Tangdilino’
untuk menyebarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna/Aluk 7777 serta diberi hak dan
kekuasaan menguasai tiap-tiap tempat yang didatangi oleh mereka.
by. L.T.
TANGDILINTIN
No comments:
Post a Comment